Drmasda's Blog

Just another WordPress.com weblog

POLA KEPEMIMPINAN ORANG TUA DAN AGRESIVITAS REMAJA

                                                                                            Oleh: M. As’ad Djalali

 

ABSTRACT. Aggression is an aspect of personality. It grows and develops under the influence of heriditary and evironmetal fators. The family factor, especially the parental factor, as a part of the environmental factor, exerts a strong influence on the development of the personality. The purpose of this study  is to determine the relationship between the arental factor and adolescent aggression. Sample of 181 student were selected using multi stage cluster sampling from senior high school. They were given questionnaires to discover a correlation between perception to pattern of parental leadership and adollescent aggression. The leadership pattern consists of autoritative, democratic and permissive factors; whereas aggreassion consists of emotional verbal, sociophysical, asociophysical and destructive ones. The technique for analyzing data is Multiple Regression Analysis. The findings are as folows: There was apositive correlation between perception of autoritative parental leadersship pattern and adolescent aggression, a negative significant correlation between perception of democratic parental leadership pattern and adolescent aggression and a positive significant correlation between perception to permissive parental leadership and adolescent aggression. The leadership pattern which had the highest significant correlation and gives most contribution to adolescent aggression was the permissive leadership pattern. An additional finding was a positive correlation between inharmoniously parental interaction factor and asociophysical and destructive factors.

 

Key word: Parental leadership pattern and adolescent agrressivity.

 

INTISARI. Agresivitas adalah salahsatu aspek  kepribadian yang dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh faktor heriditer dan faktor lingkungan. Salahsatu faktor lingkungan yang sangat besar pengaruhnya, adalah faktor orang tua. Penelitian ini berusaha menungkap adanya keterkaitan antara pola kepemimpinan orang tua dengan agresivitas remaja. Pola kepemimpinan orang tua terdiri dari pola otoriter, demokratis dan permisif. Agresivitas remaja, meliputi agresivitas emosional verbal, pisik sosial, pisik antisosial dan destruktif. Sampel penelitian sebesar 181 orang yang diambil secara multy stage cluster sampling  dari empat sekolah menengah atas. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner. Analisis data menggunakan teknik analisis regresi ganda. Hasil yang didapat adalah: ada korelasi positif dan signifikan antara pola kepemimpinan orang tua otoriter dengan agresivitas, ada korelasi negatif dan signifikan antara pola kepemimpinan orang tua demokratis dengan agresivitas dan ada korelasi positif dan signifikan antara pola kepemimpinan orang tua permisif dengan agresivitas. Pola kepemimpinan yang paling besar kontribusinya terhadap agresivitas adalah pola kepemimpinan permisif. Temuan lain dalam penelitian ini yaitu  adanya korelasi positif antara ketidak harmonisan orang tua dengan agresivitas antisosial dan destruktif .

 

Kata kunci: Pola kepemimpinan orang tua dengan agresivitas remaja.

 

 

Pembinaan generasi muda diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus pejuang bangsa dan pembangunan nasional dengan memberikan bekal ketrampilan, kepemimpinan, kesegran jasmani, daya kreasi, patriotisme, idealisme, kepribadian dan budi pekerti luhur  (Simanjuntak, 1980). Tetapi suatu kenyataan yang dijumpai, bahwa selama dua dasarwarsa terkhir ini, kenakalan remaja yang termasuk bagian dari generasi muda muncul dengan kwalitas yang selalu meningkat. Pada tahun 1960 an, kenakalan remaja nampak dengan gejala pemunculan cross boys dan cross girls, yang pada waktu itu dipandang sebagai jenis perilaku melanggar nilai dan norma yang sedang berlaku. Pada tahun 1970an , kenakalan remaja cukup memprihatinkan, dengan gejala pemakaian narkotika , kejahatan yang cukup serius, penyimpangan seksual dan penggunaan kekerasan. Pada tahun 1980an, kenakalan remaja menunjukkan gejala pengedaran dan penggunaan narkotika yang semakin meningkat, pelanggaran norma susila, penggunaan kekerasan, penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian antarkelompok (Kusumah, 1985). Tahun 90an sampai saat ini gejala tersebut kelihatan semakin meningkat, baik dilihat dari segi intensitas dan kualitasnya, seperti perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan. Masalah kenakalan remaja yang merupakan gejala sosial yang menonjol saat ini, mengundang perhatian berbagai  pihak seperti orang tua, pendidik, masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah.

 

Kejahatan, penggunaan kekerasan, pemerkosaan, perkelahian antar kelompok, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh para remaja, dimungkinkan karena adanya dorongan agresif pada mereka. Agresivitas merupakan suatu motif yang ada pada setiap manusia, dan hal tersebut banyak dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor di dalam perkembangannya. Salah satu faktor yang diduga banyak mempengaruhi agresivitas remaja adalah faktor orang tua. Orang tua bertanggung jawab untuk memelihara, membesarkan, mendidik, menanamkan nilai-nilai, serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kepribadian, dan bertugas untuk mengatur atau memimpin anak (Pikunas, 1976).

           

Pembinaan remaja adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan negara, termasuk didalamnya para pendidik, penegak hukum, agamawan, dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Yang menjadi permasalahan disini, yaitu sejauh mana pola kepemimpinan orang tua berkorelasi dengan agrsivitas remaja. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dengan masalah pembinaan generasi muda khususnya pembinaan remaja, mengingat generasi muda merupakan potensi sumber daya manusia yang begitu besar di Indonesia. Sekitar 30 % dari keseluruhan penduduk Indonesia adalah para pemuda yang ada pada usia 10 sampai dengan usia 24 tahun. Potensi tersebut perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan (Sarwono, 1985)

 

 

           

 

 
 
Agresivitas Remaja

 

Perkembangan manusia bermula sejak terjadinya proses konsepsi sampai ia dilahirkan dan berlangsung sampai menjelang mati. Tiap tahapan perkembangan dalam kehidupan, merupakan suatu transisi dari tahapan yang satu dengan yang lain. Masa remaja merupakan suatu masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Lerner dan Spanier, 1980). Secara garis besar, perkembangan remaja menyangkut tiga aspek yaitu, aspek fisik, aspek psikologis dan aspek social (Cole, 1963). Dalam masa remaja ini banyak problem-problem yang mungkin dihadapi oleh individu yaitu sehubungan dengan tugas-tugas perkembangannya, kebutuh-kebutuhannya serta posisinya yang ada pada masa transisi antara masa kanak-kanak  dan masa dewasa. Tugas perkembangan remaja ialah membina hubungan dengan teman-teman lain jenis, menerima peran sosial sebagai laki-laki  atau sebagai wanita, menerima keadaan fisiknya yang mampu memfungsikan secara efektif, mempunyai kemampuan memilih dan mempersiapkan diri sehubungan dengan dunia kerja, mencapai kemadirian  ekonomi, mempersiapkan diri untuk menuju kehidupan berumah tangga, mengembangkan ketrampilan dan kemampuan sehubungan dengankonsep-konsep intelektual yang diperlukan dalam rangka mencapai keberhasilan hidup sebagai warga masyarakat, serta memiliki sistem-sistem nilai dan etika yang dijadikan sebagai landasan didalam berperilaku. Keberhasilan didalam melakukan tugas-tugas perkembangan ini akan memberikan kesenangan bagi individu, dan apabila gagal maka individu yang bersangkutan akan merasa tidak bahagia (Havighurst, 1953).

 

Kebutuhan utama yang sifatnya psikologis bagi remaja, ialah kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, dan harga diri. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka keseimbangan kepribadian individu akan terganggu, dan individu tadi akan mengalami gangguan perilaku yang tidak bisa dipertanggung jawabkan (Martaniah, 1973). Sehubungan dengan tingkat perkembangannya, yang berada pada tingkat transisi, remaja cenderung menghadapi hal-hal yang sifatnya kontradiktif. Dia mulai mempunyai kecenderungan untuk melakukan sesuatu buat orang lain, tetapi ia sendiri masih mempunyai kecenderungan untuk selalu memperhatikan dirinya sendiri dengan sifat yang masih kekanak-kanakan. Remaja cenderung mengkhayalkan hal-hal yang muluk-muluk, cenderung berbuat antara sibuk dan malas, rindu dan kecewa, stres dan gembira yang sering tidak terduga-duga sebelumnya. Perkembangan seksualnya memberikan kecendurangan pada remaja untuk mencari kenikmatan diri dengan cara  menentang kultur yang ada. Remaja cenderung dihadapkan pada suatu problema yang begitu sulit; yaitu mereka dituntut untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan dirinya, sekaligus untuk orang lain, keluarga dan masyarakat (Pikunas, 1976, Hurlocck, 1976, Johnson dan Medinnus, 1974, Jersild, 1978). Problema yang begitu sulit tadi, akan diperparah jika remaja tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dan kebuuutuhan psikologisnya tidak terpenuhi, yang akhirnya akan berujung pada munculnya tinkahlaku yang tidak akseptabel.

 

Dorongan agresif adalah suatu aspek dari kepribadian manusia yang dibawa sejak lahir ( Freud lih. Hall dan Lindzey, 1981 dan Suryabrata, 1985, Feist & Feist, 2002). Teori etologi memandang bahwa agresivitas merupakan mekanisme katarsis yang menguras energi-energi yang ada pada individu, dan hal tersebut sifatnya instingtif (Jung, 1978, Baron & Byrne, 1991, Baron & Byrne, 2003). Freud menyatakan bahwa dorongan agresif merupakan suatu derivat dari insting mati (Hall dan Lindzey, 1981; Suryabrata, 1985, Feist & Feist, 2002). Freud juga memandang bahwa agresivitas itu sebagai akibat dari tidak terpenuhinya insting-insting seksual, dan merupakan suatu katarsis terhadap kompleks-kompleks terdesak (Jung, 1978, Baron & Byrne, 1991). Teori Frustration agression Hypotesis menyatakan bahwa agresivitas disebabkan karena frustasi (Jung, 1978, Baron & Byrne, 1991, Baron & Byrne, 2003). Agresivitas merupakan respons yang alamiah terhadap frustasi, yang dimaksudkan untuk menghilangkan sumber frustrasi itu sendiri (Spencer dan Kass, 1977). Teori Behaviourism memandang hahwa agresivitas itu timbul karena pengaruh lingkungan fisik, lingkungan sosial serta lingkungan budaya karena peniruan terhadap model (Jung, 1978; Ross, 1974, Hall, 1984 dan Bandura, lih. Petri, 1976, Baron & Byrne, 1991, Baron  & Byrne, 2000; Feist & Feist, 2002). Stimulasi lingkungan yang menyebabkan kesakitan fisik serta stimulus aversif akan menjadi stimulan bagi munculnya aggresivitas (Berkowitz, dkk; 1981, Baron & Byrne, 1991). Bentuk-bentuk agresivitas yang dilakukan manusia termasuk juga remaja menurut Murray dan Bellak dapat dikelompokkan menjadi agrsivitas emosional verbal, agresivitas fisik, sosial, agresivitas fisik asosial, dan agresivitas destruktif (Abt, 1959; Sukadji, 1982, Hall & Lindzey, 1985).

 

Pola Kepemimpinan Orang Tua

 

Salahsatu lingkungan yang besar kemungkinan pengaruhnya terhadap timbulnya agresivitas, adalah teman sebaya atau peer group nya di samping keluarga. Remaja yang ada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa dan ditandai dengan penderitaan batin yang hebat, cemas dan frustasi, begitu besar kemungkinannya untuk berperilaku agresif. Kegagalan remaja di dalam melakukan tugas-tugas perkembangan serta tidak terpenuhinya kebutuhan–kebutuhan remaja merupakan sumber frustrasi lain yang akan bermuara pada agresivitas. Prasangka sosial di antara remaja yang berkaitan dengan masalah etnis dan agama berkorelasi secara signifikan dengan agresivitas remaja (Evitasanti, dkk, 2000). Hal tersebut kemungkinan menjadi sumber persaingan dan  permusuhan di antara mereka. Adanya persaingan dan permusuhan di antara mereka memungkinkan mereka akan mudah terprofokasi dan merasa terancam sekalipun dalam masalah-masalah yang belum jelas. Adanya persaingan, rasa permusuhan dan perasaan terancam ini akan menjadi pemicu agresivitas remaja (Hubbard, 2001).

 

Lingkungan keluarga adalah  lingkungan yang paling utama bagi individu. Keluarga sebagai tempat persemaian perkembangan kepribadian anak, merupakan lingkungan yang paling penting peranannya (Cole, 1963, Pikunas, 1976, Conger, 1977). Keluarga dalam hal ini orang tua, sebagai orang yang melahirkan anak, bertugas memelihara, memberikan hiburan dan memberikan kasih sayang (Brown, 1961). Sehubungan dengan peranan orang tua dalam kaitannya dengan anak, Pikunas (1976) menyatakan, bahwa ibu bertugas sebagai pengasuh, perawat, memberikan stimulasi dan latihan-latihan, memberikan perlindungan dan kasih sayang. Di sisi lain, ayah bertugas memimpin dalam arti mengarahkan pendidikan, mengawasi perkembangan anak, melatih disiplin, dan melatih anak agar mampu menghadapi kenyataan-kenyataan hidup. Sekalipun peranan kepemimpinan didalam keluarga merupakan tugas utama ayah, tetapi Pikunas (1976) menegaskan, antara ayah dan ibu diperlukan kerjasamanya, terutama di dalam masalah memimpin anak-anaknya.

 

Masyarakat saat ini talah banyak yang menganut faham egalitarian dalam masalah memimpin anak-anaknya. Terutama bagi masyarakat yang sudah dianggap berpandangan maju; termasuk juga masyarakat Indonesia sekarang ini, masalah memimpin anak-anaknya bukanlah monopoli ayah saja. Lebih-lebih bagi ayah yang banyak bekerja di luar rumah, praktis masalah kepemimpinan di dalam keluarga ini akan lebih banyak ditangani oleh ibu. Orang tua sebagai pemimpin yang mengatur, mengarahkan, mengelola dan mengawasi anak-anaknya, menggunakan tiga pola kepemimpinan, yaitu otoriter, demokratis, dan permisif (Stewart dan Koch, 1983; Corsini dan Ozaki, 1984; Barnadib, 1986). Orang tua otoriter, cenderung suka memaksakan kehendaknya tanpa mengindahkan hak-hak anaknya, cenderung suka menghukum anak dan cenderung tidak ada komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua yang demokratis, cenderung menempatkan pada posisi yang sama antara anak dan orang tua, dalam segala hal, termasuk dalam hal hak dan kewajibannya. Orang tua yang permisif, cenderung memberikan kebebasan yang penuh pada anak-anaknya untuk berbuat apa saja tanpa adanya kontrol sama sekali.

 

Kerja sama yang serasi, saling menyenangi dan saling mencintai di antara orang tua dalam hal ini ibu dan bapak sangat dibutuhkan, karena hal tersebut berkaitan dengan rasa aman dan pembentukan disiplin anak secara konsisten (Strrange, 1976). Tetapi kemungkinan ketidak serasian orang tua (ibu dan bapak) dalam melakukan fungsinya dapat saja terjadi, terutama jika mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Hal ini akan menimbulkan suasana tertentu dalam keluarga yang akan mempengaruhi rasa aman  dan disiplin anak (lindgren, 1976, Strange, 1976). Ketidak serasian tersebut, menyangkut perbedaan agama, ideologi, apresiasi terhadap karya seni serta perbedaan pandangan sehubungan dengan masalah pendidikan dan masa depan anak. Perbedaan lain antara ibu dan bapak, yaitu adanya keinginan di antara mereka untuk saling dominan terhadap anak serta berlomba untuk saling dekat dan mendapatkan simpati dari anak. Ketidakserasian ini akan menjadi sumber pertengkaran dalam keluarga yang selanjutnya akan menjadi sumber frustrsi bagi anak.

 

Semua perilaku termasuk perilaku kepemimpinan orang tua baik yang serasi atau tidak serasi, akan dipersepsi oleh para remaja karena mereka telah mempunyai kemampuan untuk menangkap fenomena-fenomena yang ada pada lingkungannya. Untuk itu dalam penelitian ini yang diteliti adalah pola kepemimpinan orang tua atas dasar persepsi anak. Ini dilakukan karena, pola kepemimpinan orang tua yang berpengaruh terhadap perilaku anak, bukanlah pola kepemimpinan  yang ada secara objektif, tetapi yang telah dipersepsi oleh anak.

 

 

 

 

Pola kepemimpinan Orang Tua dan Agresivitas Remaja

 

Kecenderungan pola kepemimpinan orang tua sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, dimungkinkan akan mempunyai korelasi dengan dorongan agresif mereka. Orang tua yang otoriter, dengan kecenderungan suka memaksakan kehendaknya pada anak, tidak mengindahkan hak dan kebutuhan anak, dan suka menghukum anak, diduga akan mempengaruhi perkembangan agresivitas anak. Orang tua yang demokratis, yang selalu memperhatikan anak, dan cenderung memperlakukan anak sama dengan dirinya, dan saling bekerja sama di dalam menghadapi setiap persoalan, diduga akan dapat menurunkan atau meduksi perkembangan agresivitas anak. Orang tua yang permisif, yang tanpa mengontrol sama sekali terhadap tingkah laku anak, akan menyebabkan anak mengalami benturan-benturan dengan lingkungan sosialnya, dan benturan-benturan tersebut akan menimbulkan frustasi, dan frustasi tadi mungkin juga akan menimbulkan perilaku agresif bagi anak. Ketidak serasian antara ibu dan bapak dalam keluarga mungkin akan diwarnai dengan percekcokan dan pertengkaran yang akan menjadi sumber frustrasi dan akan dipersepsi oleh anak sebagai perlaku agresif. Hal tersebut selain akan menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak disiplinnya anak juga akan menjadi model bagi anak untuk berperilaku agresif. Atas dasar uraian di atas, dalam penelitian ini dikemukakan hipotesis sebagai berikut : pola kepemimpinan orang tua otoriter berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas remaja, pola kepemimpinan orang tua demokratis berkorelasi negatif dan signifikan dengan agresivitas remaja, pola kepemimpinan orang tua permisif berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas remaja dan ketidak serasian antara bapak dan tibu berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas remaja.

 

 

.

Metode Penelitian

 

Subjek yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah  para remaja yang terdiri dari murid-murid SMTA   sebanyak 181 orang, yang terdiri dari 155 orang laki-laki dan 26 orang wanita dan diambil dari 26 SMTA.Teknik pengambilan sampel dengan cara Muti Stage Cluster Sampling. Dari 26 sekolah yang ada, diambil 4 sekolah sebagai sampel, dan dari tiap-tiap sekolah tersebut diambil sejumlah subjek dari 1 kelas. Penentuan Kelasnya juga diambil secara random.

 

Data dikumpulkan dengan menggunakan angket yang dikembangkan dari pola-pola kepemimpinan orang tua, dengan faktor-faktor otoriter, demokratis dan permisif, dan ditambah lagi dengan faktor ketidak serasian orang tua yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tambahan. Angket untuk mengungkap agresivitas, dikembangkan dari faktor emosional verbal, fisik sosial, fisik asosial, dan destruktif. Analisis data hasil penelitian, menggunakan analisis product moment.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hasil Penelitian

 

 

 

TABEL: MATRIK INTERKORELASI FAKTOR-FAKTOR POLA KEPEMIMPINAN DENGAN  KETIDAKSERASIAN ORANG TUA

 

 

Y

X

1

2

3

4

5

1

– 0,077

0,101

0,211

0,208

0,151

p > 0,05

p > 0,05

p < 0,01

p < 0,01

p < 0,05

2

– 0,109

– 0,024

– 0,277

– 0,217

– 0,277

p > 0,05

p > 0,05

p < 0,01

p < 0,01

p < 0,01

3

0,116

0,173

0,257

0,243

0,250

p > 0,05

p > 0,05

p < 0,01

p < 0,01

p < 0,01

4

– 0,014

0,080

0,259

0,246

0,234

p > 0,05

p > 0,05

p < 0,01

p < 0,01

p < 0,05

 

Keterangan tabel:

X1          = Kepemimpinan otoriter

X2          = Kepemimpinan demokratis

X3          = Kepemimpinan permisif

X4          = Ketidakserasian antara  ayah dan ibu

Y1           = Agresivitas emosional verbal

Y2           = Agresivitas fisik social

Y3           = Agresivitas fisik asosial

Y4           = Agresivitas destruktif

Y5           = Agresivitas total

 

 

Atas dasar tablel di atas dapat diketahui bahwa semua hipotesis yang diuji dalam penelitian ini terbukti. Pola kepemimpinan otoriter berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas remaja (r = 0, 151, p < 0,01). Pola kepemimpinan orang tua demokratis berkorelasi negative dan signifikan dengan  agresivitas remaja (r =  -0,277, p < 0,01). Pola kepemimpinan orang tua permisif berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas remaja (r = 0,234, p < 0,01). Temuan lain selain yang dihipotesiskan yaitu ketidakserasian orang tua dalam memimpin anak, juga berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas remaja (r = 2,34, p< 0,05). Pola kepemimpinan orang tua otoriter,  permisif dan ketidakserasian orngtua dalam memimpin anak, berkorelasi positif dan signifikan dengan aspek agresivitas asosial dan destrutif; sedangkan pola kepemimpinan orang tua demokratis berkorelasi negatif dan signifikan dengan aspek agresivitas asosial dan destruktif (periksa table). Berdasar tabel di atas, tergambar pula bahwa pola kepemimpinan orang tua otoriter, demokratis, permisif termasuk pula ketidak serasian orang tua dalam memimpin anak, tidak berkorelasi secara signifikan de ngan aspek agresivitas emosional verbal dan agresivitas asosial (periksa tabel).

 

      

Bahasan

 

Pola kepemimpinan orang tua otoriter berkorelasi positif  dan signifikan dengan agresivitas remaja. Pola kepemimpinan orang tua otoriter dengan indikator kecendrungan tidak memberikan kebebasan, memaksakan kehendak,suka menghukum terutama hukuman fisik, kaku, tidak ada perasaan kasih sayang, tidak simpatik terhadap anak,   akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak dalam hal ini agresivitasnya (Cole, 1963; Lindgren, 1976; Conger, 1977; Stewart dan Koch, 1983). Perilaku orang tua yang demikian itu  akan dipersepsi dan dihayati anak sebagai perilaku agresif orang tua, yang akan menjadi model dalam proses perkembangan anak sehingga anak akan menjadi agresif pula (bandura, lih. Baron & Byrne, 1991, Baron & Byrne, 2000. Petri, 1996).   Anak tersebut akan mudah marah, menjadi frustrasi, menentang perintah orang tua dan berbagai bentuk perilaku menyimpang, dan selanjutnya anak akan menjadi agresif (Heterington dan Parke, 1983).

 

Pola kepemimpinan orang tua permisif, juga berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas remaja. Kebalikan dari orang tua otoriter, orang tua yang berpola permisif, memberikan kebebasan tanpa adanya kontrol dan sangsi sama sekali terhadap anak, bahkan tidak peduli terhadap masalah yang dihadapi anak. Ini akan berpengaruh negatif terhadap anak, yaitu mereka tidak matang, emosinya tidak setabil, selalu curiga pada orang lain, kurang control diri, tidak mengenal tata tertib, tidak mematuhi aturan, mementingkan diri sendiri, tidak menghargai orang lain, tidak mempunyai rasa simpati pada orang lain, sulit dipimpin dan sulit pula memimpin, dan menjadi agresif (Baumrind, lih. Steward & Koch, 1983; Robinson, 1958; Barnadib, 1986).

 

Berbeda dengan pola kepemimpinan otoriter dan permisif yang berkorelasi positif dan signifikan , pola kepemimpinan demokratis berkorelasi negatif dan signifikan dengan agresivitas remaja. Ini terjadi, karena orang tua demokratis di samping menempatkan anak pada kedudukan yang sama dalam keluarga, memberikan kebebasan untuk mengemukakan ide-ide atau pendapat-pendapatnya, mau mendengar keluhan-keluhannya,  juga memberikan perhatian yang besar pada anak (Martaniah, 1964, Conger, 1977, Spock, 1982, Barnadib, 1986). Suasana keluarga dengan pola kepemimpinan orang tua demokratis akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak (Stewart dan Koch, 1983). Anak yang dibesarkan dalam suasana demokratis, akan memiliki rasa percaya diri yang baik, mandiri, periang, memiliki tanggung jawab sosial yang baik, dan selalu bersahabat (Baumrind, Steward dan Koch, 1983).     

 

 

Faktor ketidakserasian orang tua berkorelasi negative dan siganifikan dengan agresivitas remaja.  Ini berarti bawa ketidak serasian antara ayah dengan ibu dalam keluarga akan berdampak negatif yaitu akan menyebabkan anak menjadi destrutif dan antisosial. Ketidakserasian orang tua (bapak dan ibu) kemungkinan akan menjadi sumber pertengkaran dan permusuhan  yang akan menjadikan lingkungan keluarga  dengan suasana yang akan dilihat dan dipersepsi dan disikapi anak sebagai lingkungan yang penuh dengan sumber frustrasi.  Lingkungan demikian akan mempengaruhi perilaku anak, dalam hal ini perilaku agresif. (Jung, 1978, Baron & Byrne, 1991, Baron & Byrne, 2000, Carver, lih. Geen, 1995). Berbeda apabila orang tua selalu serasi atau harmonis di dalam memimpin anak. Harmonis dimaksud adalah adanya saling pengertian, saling mengisi atau saling melengkapi di antara keduanya. Situasi demikian akan dipersepsi anak sebagai situasi altruistik yang akhirnya akan membentuk pribadi anak menjadi pribadi altruistik pula (Duval & Duval dan Neely, 1979). 

 

 

Pola kepemimpinan dan ketidak serasian orang tua tidak berkorelasi secara signifikan dengan agresivitas emosional verbal. Tidak adanya korelasi secara signifikan antara faktor-faktor pola kepemimpinan orang tua dan ketidakserasian orang tua dalam memimpin anak dengan agresivitas emosional verbal ini, dimungkinkan karena perbedaan sampel antara laki-laki dan wanita yang tidak seimbang, yaitu 155 orang untuk laki-laki, dan 26 orang untuk wanita, atau berbanding antara 87% dengan 13%. Dalam hal ini diduga bahwa laki-laki cenderung memberikan respons yang sifatnya fisik, dan wanita cenderung memberikan respons yang sifatnya emosional dan verbal di dalam menghadapi suatu stimulus atau dalam merefleksikan dorongan agresifnya.

 

Semua aspek dari pola kepemimpinan orang tua dan ketidak serasiannya juga tidak berkorelasi secara signifkan dengan agresivitas pisik social. Tidak adanya korelasi antara pola-pola kepemimpinan dan ketidak serasian orang tua dengan agresivitas fisik sosial dalam penelitian ini, diduga  ada hubungannya dengan masalah remaja Indonesia pada umumnya. Remaja Indonesia pada umumnya saat ini disinyalir mengalami krisis idealisme,  nasionalisme, patriotisme dan krisis moral, yang menunjukan gejala pemberontakan terhadap norma moral yang ada. Akibatnya dorongan agresifnya tidak terefleksikan dalam bentuk perilaku positif seperti membela kebenaran, mencegah kemungkaran, dorongan untuk membela negara dan sebagainya yang merupakan indikator dari agresivitas sosial tidak muncul dan sebaliknya, yang muncul adalah tingkah laku yang cenderung berkonotasi dengan tindakan anti sosial dan destruktif.  Remaja yang dijadikan responden dalam penelitian ini, merupakan bagian dari para remaja Indonesia pada umumnya.

 

 

Simpulan

 

Agresivitas sebagai aspek dari kepribadian banyak dipengaruhi oleh factor lingkungan baik dalam hal kemunculan dan perkembangannya; di samping factor bawaan. Keluarga khususnya orang tua, merupakan salahsatu dari aspek factor lingkungan tadi. Pola orang tua dalam mengasuh dan memimpin anak sangat berpengaruh terhadap agresivitas anak dalam hal ini remaja. Pola kepemimpinan otoriter dan permisif berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas anak. Ketidak serasian orang tua dalam memimpin anak juga berkorelasi positif dan signifikan dengan agresivitas anak. Artinya, semakin otoriter dan permisif orang tua serta semakin tidak serasi antara bapak dengan ibu, akan diikuti dengan semakin tingginya potensi agresivitas anak. Sebaliknya, pola kepempinan orang tua demoktaris berkorelasi negatif dan signifikan dengan agresivitas anak. Orang tua yang memimpin anak dengan pola pendekatan demokratis akan diikuti dengan rendahnya agresivitas anak.

 

Dari hasil penelitian ini yang perlu dicermati adalah, kenapa pola kepemimpinan orang tua baik otoriter, permisif dan demokratis serta ketidak serasiannya hanya berkorelasi secara signifikan dengan agresivitas fisik antisocial dan destruktif saja. Pola kepemimpinan dan ketidakserasiannya tidak berkaitan secara berarti dengaan agresivitas fisik sosial, dengan indikator berjuang membela negara, membela hak, membela kebenaran dan perilaku-perilaku  positif lainnya. Apakah hal tersebut sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, bahwa rendahnya potensi agresif fisik sosial berkaitan dengan kondisi remaja Indonesia pada umumnya yang disinyalir mengalami krisis idealisme, nasionalisme dan krisis-krisis yang lain. Atau aspek agresivitas fisik sosial memang merupakan aspek yang sangat berbeda bahkan berlawanan dengan agresivitas fisik antisocial dan destruktif yang membutuhkan klasifikasi dan kajian yang berbeda dalam suatu aktivitas penelitian

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abt,   L.E. and Bellak, L., 1950, Projective Psychology.

           Grove Press Inc., New York,  London

 

Anastasi,     A. ,  1976.  Psychological Testing, Fourth

           Edition, Macmillan Publishing Co., Inc., New York

 

Baron, D; A. and Byrne, D; 1991. Social Psychology, Understanding Human

            Interaction, 6th, Allyn and Bacon, Boston,

 

————–; 2000. social Psychology, Tenth Edition, Allyn and Bacon, Boston.

Bernadib, S. I.,  1986.  Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis.

          Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP),  Yogyakarta.

 

Berkowitz, L., Cochran, Suzan, T.,  and Embree, M.,  1981

          Physical Pain and Goal of Aversely Stimulated Aggression,

          Journal Of Personality and Social Psychology, Vol. 40 No. 4, 697

 

Brown,  F. J., 1961.  Educational Psychology, 2nd.   

              Prentice Hall Inc.,  Englewood, New Jersey.

 

Cole,  L.,  1963.  Psychology of Adolescence.  Holt. Rinehart

          & Winston,  New York.

 

Conger,  J.J.,  1977.  Adolescence and Youth Psychological

          Development in Changing World.  Harper and Row Publisher,  New York.      

 

Duval, S; Duval, V.H; & Neely, R. 1979). Self-fokcus, felt responsibility and helping behavior, Journal of Personality and Social Psychology, 37, 1769-1778.

 

Evitasanti, D; Djalali, M.A. dan Matuleesy, A; 2000. Hubungan antara Prasangka Sosial dengan Agresivitas, Jurnal Psilologi Fenomena, Suarabaya., 37, 1769-1778.

 

Feist, J; and Feist, G; J; 2002. Theories of Personality, 5th Edition, McGraw Hill, Boston.

 

 

Hubbard, J.A;  Dodge, K.A; Cillesson, A.H. and Coie, J.D; 2001. The Dyadic Nature of Social Information Processing in Boys’ Reactive and Proactive Aggression, Journal of  Personality and Social Psychology, Vol. 80, No. 2, p. 269 – 280.

 

Hall,  C;  S.,  and Lindzey, G;  1981.  Theories of

         Personality, 3th.  ed.  John Wiley & Sons, New York.

 

Hall, W,  M. and C; 1984.  Aggressive

          Behavior in Children:  An Outcome of modeling or social

          Receprocity.  Journal Psychology, Vol.  11, No. 5,  739

 

Hurlock,  E.B.,  1976.  Child Development. 6th ed.  McGraw Hill

         Kogakusha, Ltd.

 

Havighurts, R.J.,  1953.  Human Development and Education

          Longman,  Green& Co.,  New York.

 

 

Jersild,  A.T.,  Brook, J.S., and David, W., 1978.  The Psychology of

          Adolescence.  3th ed.  Macmillan Publishing Co.,Inc New York.

 

Johnson,  R.C., and Medinnus, G.R., 1974.  Child Psychology Behavior

          And Development.  John Wiley & Sons,  New York.

 

Jung, J., 1978.  Understanding Human Motivation.  Macmillan

          Publishing Co.,  Inc.,  New York.

.

Kusumah,  M.W., 1985.  Kenakalan Remaja dalam Perspektif Kriminologi

          Prisma, No.  9,  LP3ES,  61.

 

Lindgren,  C.H.,  1973.  An Introduction to Social Psychology, 2nd ed. Wiley

.

Lerner,  R.M.,  Spanier,  G.B., 1980.  Adolesscent Development.

          McGraw-Hill Book Company,  New York.

 

Martaniah,  S.M.,  1964.  Peranan Orang Tua Dalam Perkembangan

          Kepribadian,  Djiwa Baru  11/12,  Th.  XII

 

—–,   1973.  Penyelidikan Mengenai Kebutuhan-kebutuhan Psikologik

          Remaja di  DIY.  PPPT-UGM, Yogyakarta.

 

—–,   1982.  Motif Sosial Remaja SMA Jawa dan Keturunan Cina,  Suatu

         Stusi Perbandingan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

 

Petri, H.L. 1996. Motivation, Theory, Research, and Applications, Fourth Edition, Brooks/Cole Publishing Company, Boston.

 

Pikunas,  J.,  1976.  Human Development An Emergent Science. 3rd ed.

 

Ross,  A.O.,  1974.  Psychological Disorders of Children.  International

         Student Edition,  McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., Tokyo.

 

Ross,  D., and Parke,  1977.  Contemporary Reading in Child Psychology.

         McGraw-Hill Book Company,  New York.

 

Sarwono,  S.W.,  1985.  Pandangan Sosial Politik Remaja Prisma,  No.  9

         LP3ES,  Jakarta.

 

Smith,  C.H.,  1968.  Personality Development.  McGraw-Hill Book

         Company,  New York.

 

Spencer,  T.D., and Kass,  N.,  1977.   Perspective in Child Psychology.

         McGraw-Hill Book Company,  New York.

 

Stewart,  A.C., dan Koch, J.B., 1983.  Children Development Trough

          Adolescence.  John Wiley & Sons,  Canada.

 

Sukadji,  S.,  1982.  TAT dan Penggunaannya.  Universitas Gadjah Mada

         Yogyakarta.

 

Suryabrata, S.,  1985.  Psikologi Kepribadian.  Cetakan Kedua,

         Rajawali,  Yogyakarta.

 

Young,  K.,  1956.  Social Psychology.  Appleton Century Croffts, Inc. New York

.

Juli 12, 2009 - Posted by | Psikologi Kepribadian

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar