Drmasda's Blog

Just another WordPress.com weblog

EFIKASI DIRI AKADEMIK, DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA DAN PENYESUAIAN DIRI MAHASISWA DALAM PERKULIAHAN

Terbit pada Jurnal Psikologi Persona Volume 01 Nomor 01 Juni 2012

 

 

Oleh:

Intan Prastihastari Wijaya

Niken Titi Pratitis

 

 

Abstract. The main purpose of this research is to know whether there is connection between self efficacy academic and social support parents with self adaptation of University Students. The research subject was 100 University Nusantara PGRI Kediri students consisting of 42 boys and 58 girls which was taken random and having caractesistis of the first grade of the University students and staying together with their own parents. The data of the self adaptation of the University students was obtained from the scale of self actualization. The data of the scale self efficiacy academic was also obtained from the scale of self efficacy academic. The data of social support parents was received from the scale of social support parents. The resulf of this analysis of multiple regression are from maximum R = 0,684; F = 42,717; p = 0,000 (p < 0,01). The resulf of this data analysis showing that the self efficacy academic and social support are integrated to self adaptation of the University students. The result of the analysis academic self efficacy correlation with self actualization of the University students was obtained r partial = 0,632; t = 8, 039 with p = 0,000 (p < 0,01). This data shows that there is positive correlation between academic self efficacy and self actualization. The hypothesis of the research classifying that there is correlation between them and it is acceptable. The out come of the analysis social support parents correlation with self adaption of the University students was attained r partial = 0,159; t = 1,582 with p = 0,117 (p > 0,05). This data indicates that the variable of the social support is isolated and it is not related to the self adaptation. The hypothesis of the research indicates that there is positive connection between social support and self actualization and there fore it is unacceptable or avoided. This is because of another factor that influences self adaptation of the University students a part from social support of the parents.

 

Key word: Self adaptation, Self efficacy academic, Sosial support parents.

 

Intisari, Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Subjek penelitian 100 mahasiswa yang terdiri dari 42 mahasiswa laki-laki dan 58 mahasiswa perempuan diambil secara random di Universitas Nusantara PGRI Kediri, dengan karakteristik sebagai mahasiswa pada tahun pertama dan yang tinggal bersama orangtua kandung. Pengumpulan data menggunakan skala psikologi yang meliputi, skala penyesuaian diri pada perkuliahan, skala efikasi diri akademik, dan skala dukungan sosial orangtua. Data penelitian dianalisis menggunakan analisis regresi ganda, dan korelasi parsial dengan bantuan komputer program SPSS 18.0 for windows. Hasil analisis  regresi  ganda  diperoleh sebesar R = 0,684; F = 42,717; p = 0,000 (p < 0,01). Hasil analisis data ini menunjukkan efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua secara bersama-sama berhubungan dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Hasil analisis korelasi efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan diperoleh r parsial = 0,632; t = 8,039 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Data ini menunjukkan ada korelasi positif antara efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan positif efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, diterima. Hasil analisis korelasi dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan diperoleh r parsial = 0,159; t = 1,582 dengan p = 0,117 (p > 0,05). Data ini menunjukkan Variabel dukungan sosial orangtua secara tersendiri tidak berhubungan dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan positif dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, ditolak. Hal ini dikarenakan adanya faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan selain dari dukungan sosial orangtua.

 

Kata kunci: Penyesuaian diri, efikasi diri akademik, dukungan sosial orangtua.

 

 

 

Banyak mahasiswa mengalami perubahan sistem belajar mengajar, serta tuntutan tugas yang lebih sulit, semenjak masuk masa perkuliahan dibandingkan dengan masa SMA. Kejadian di lapangan ini, menunjukkan bahwa mahasiswa benar-benar mengalami perubahan yang jauh berbeda saat menjalani perkuliahan di perguruan tinggi, dan dibutuhkan kesiapan untuk menyesuaikan diri agar tidak ketinggalan pelajaran. Upaya penyesuaian diri yang dilakukan adalah menerima kekurangan dan meningkatkan potensi dirinya untuk mengatasi kekurangan, serta berusaha memandang realitas secara objektif, karena subjek merasa dituntut untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas belajar serta harapan dari keluarga akan masa depan yang lebih baik.

Kondisi yang mengharuskan mahasiswa menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar dan teknik pengajaran yang baru setiap individu berbeda. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses belajar yang dilakukan mahasiswa menekankan kapan subjek menilai atau mencoba untuk melakukan sesuatu tentang penyesuaian diri, dan kapan subjek ingin mengerti penyesuaian diri bagi diri sendiri. Schneider (dalam Ellias & loomis, 2000), menjelaskan bahwa lingkungan dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi pelajar bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan tempat belajar merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga yang membentuk individu.

Kuantitas dan kualitas kemampuan, keterampilan, keahlian dan mental yang terus menerus terbina dan didukung oleh orangtua yang memiliki ketertarikan pada kegiatan mahasiswa merupakan sumber-sumber yang mendukung penyesuaian diri, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan meregulasi impuls, pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi ketegangan dan masalah yang dihadapinya serta pengembangan kepribadiannya pada tujuan yang matang (self control-self development). Kemampuan menyesuaikan diri dalam aspek tersebut berkaitan dengan proses pembentukan keyakinan dan kesanggupan diri mahasiswa untuk menjalani proses belajar, setelah mahasiswa memahami diri dan mengenal kelebihan dan kekurangannya secara objektif dan mampu memandang realita yang dihadapi secara objektif.

Kemampuan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan terutama mahasiswa yang baru, yang masih dalam proses mengenali lingkungan dan sistem belajar yang ada, cenderung terkait dengan keyakinan dan kesanggupan diri mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang berorientasi pada hasil yang diharapkan. Seperti yang telah peneliti dapatkan dari hasil survey pada mahasiswa menunjukkan bahwa, subjek merasa tidak yakin dapat mengerjakan tugas dengan baik, karena terlalu banyak tugas yang selalu menumpuk. Selain itu, subjek juga merasa tidak yakin dapat memperoleh informasi tambahan yang memadai dari luar kelas.  Keterkaitan antara kemampuan penyesuaian diri dengan keyakinan diri mahasiswa diperkuat oleh pendapat Klassen (2004), penyesuaian diri dengan lingkungan akademik dipengaruhi oleh seberapa besar kesanggupan dan keyakinan dirinya untuk mengerjakan tugas dan peran barunya sebagai seorang pelajar di pendidikan tinggi atau disebut sebagai efikasi diri akademik.

Menurut House (dalam Weiten, 1992) meningkatkan kesejahteraan psikologis seseorang karena adanya perhatian, rasa pengertian yang memenuhi aspek emotional support, penerimaan feed back terhadap hasil kerja subjek yang memenuhi aspek appraisal support, pemberian nasehat, dan informasi yang memenuhi aspek instrumental support akan menimbulkan perasaan memilih, meningkatkan harga diri subjek, serta menimbulkan perasaan positif sebjek mengenai diri sendiri. Selain itu, Friedlander (2007) menjelaskan bahwa dukungan sosial yang tinggi dari orangtua atau keluarga dengan mantap dapat meningkatkan penyesuaian diri secara keseluruhan. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan adanya kepercayaan dan dukungan orangtua, sehingga mahasiswa dapat menghadapi kesulitan atau permasalahan diperguruan tinggi.

Ada beberapa penelitian tentang penyesuaian diri, diantaranya dalam penelitian Poyrazli (2002), diuraikan bahwa keyakinan diri dan penyesuaian diri menunjukkan hubungan yang bersifat positif. Bandura (dalam Poyrazli, 2002) menyatakan bahwa keyakinan diri yang kuat tentang kemampuan dan kompetensi akan membantu seorang individu untuk beradaptasi secara emosional. Keterangan dari jurnal yang dibuat oleh Chemers, Hu & Garcia (2001), efikasi diri yang tinggi mengakibatkan lebih sedikit tekanan, sehingga mengakibatkan lebih sedikit permasalahan kesehatan dan penyesuaian menjadi lebih baik. Sedangkan dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada hubungan antara efikasi diri akademik dan dukungan sosial akademik dari orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang hubungan antara efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Efikasi diri akademik sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan dan diharapkan akan mendorong mahasiswa untuk memberi keyakinan mampu menyelesaikan masalah-masalah dan tugas-tugas perkuliahan yang dihadapi. Informasi penelitian akan mempertinggi pemahaman orangtua tentang arti penting suatu dukungan sosial akademik dari orangtua dalam mengembangkan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, dan diharapkan akan memacu mahasiswa untuk menyelesaikan perkembangan pada masa remaja akhir, kelak menjalani hidup pada masa dewasa dalam kehidupan masyarakat sebagai pribadi yang tangguh.

 

Penyesuaian Diri pada Perkuliahan

Menurut Davidoff (dalam Mu’tadin, 2002) penyesuaian diri merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan. Manusia di tuntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Penyesuaian diri pada perkuliahan adalah tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik atau perkuliahan yang dihadapi untuk menyelesaikan masalah-masalah sekarang maupun selanjutnya dimasa mendatang, sehingga dapat memberikan suatu prestasi untuk dirinya. Schneiders menyatakan bahwa individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah individu yang memiliki salah satu respon seperti kematangan, berdayaguna, kepuasan dan sehat. Berdayaguna disini diartikan, individu dapat membawa hasil tanpa terlalu banyak mengeluarkan energi, tidak banyak kehilangan waktu atau banyak mengalami kegagalan. Sedangkan sehat disini diartikan bahwa individu dapat mengeluarkan respon penyesuaian yang cocok dengan situasi atau keadaan. Schneiders menempatkan lima kriteria penyesuaian diri yang baik pada perkuliahan, yakni, self knowledge-insight, self objectivity dan self acceptance, self control dan self development, good interpersonal relationship, satisfaction in work.

 

Aspek-aspek Penyesuaian Diri pada Perkuliahan

Self Knowledge-Insight, yakni kemam-puan untuk mengetahui diri sendiri. Kemam-puan untuk mengetahui diri sendiri memerlukan perincian yang baik mengenai kelebihan dan keterbatasan diri sendiri.

Self Objectivity dan Self Acceptance, yakni kemampuan untuk berperilaku dan berpikir yang didasarkan atas pengetahuan obyektif serta dapat menerima diri secara positif serta dapat menghargai diri sendiri secara lebih positif.

Self Control dan Self Development, bahwa self control merupakan kemampuan untuk mengarahkan dan meregulasi impuls, pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi ketegangan dan masalah yang dihadapinya serta pengembangan kepribadiannya pada tujuan yang matang.

Good Interpersonal Relationship, bahwa seseorang yang memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik dapat menunjukan hubungan interpersonal yang baik dengan kasih sayang, altruisme dan perasaan baru terhadap orang lain, bergaul dengan baik terhadap orang lain berarti menjalin relasi yang ramah, menghargai hak, pendapat dan kepribadian orang lain yang pada dasarnya berbeda dengan dirinya.

Satisfaction In Work, yakni kriteria lain untuk melihat adanya penyesuaian diri yang baik adalah rasa puas yang diperoleh dari segala aktivitas yang dilakukan individu. Penyesuaian diri pada perkuliahan disini adalah kepuasan akan harapan dan prestasi yang di capai. Jenis aktivitas yang dilakukan, kondisi dimana aktivitas itu dilakukan, manfaat yang diperoleh, prestasi yang dicapai dan adanya sumber konflik dan aktivitas tersebut merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada kepuasan yang dirasakan mahasiswa.

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Penyesuaian Diri pada Perkuliahan

Penyesuaian Pribadi. Kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.

Penyesuaian Sosial. (a) lingkungan keluarga, (b) lingkungan teman sebaya, (c) lingkungan sekolah.

 

 

Efikasi Diri Akademik

Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2009), efikasi diri akademik mengacu pada keyakinan yang berkaitan dengan kemampuan dan kesanggupan seorang pelajar untuk mencapai dan menyelesaikan tugas-tugas studi dengan target hasil dan waktu yang telah ditentukan. Efikasi diri akademik mengacu pada pertimbangan seberapa besar keyakinan seseorang tentang kemampuannya melalukan sejumlah aktivitas belajar dan kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas belajar. Efikasi diri akademik merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan menyelesaikan tugas-tugas akademik yang didasarkan atas kesadaran diri tentang pentingnya pendidikan, nilai dan harapan pada hasil yang akan dicapai kegiatan belajar.

 

Aspek-aspek Efikasi Diri Akademik

Pengharapan Efikasi (efficacy expentation). Munculnya suatu perilaku yang dipengaruhi adanya persepsi individu pada kemampuannya berkaitan dengan hasil yang diharapkan.

Pengharapan hasil (outcome expentation). Perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan akan mencapai hasil tertentu.

Nilai hasil (outcome value). Suatu nilai kebermaknaan atas hasil yang diperoleh individu. Nilai hasil yang sangat berarti mempengaruhi secara kuat motivasi individu untuk memperoleh keberhasilan kembali.

 

Sumber-sumber Efikasi Diri Akademik

Performance Accomplishment (hasil yang telah dicapai) merupakan sumber informasi efikasi yang paling berpengaruh karena mampu memberikan bukti yang paling nyata tentang mampukah seseorang untuk mencapai keberhasilan.

Pengalaman vikarius/seolah mengalami sendiri (Vicarious experience); diperoleh melalui model sosial. Efikasi diri akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi diri akan menurun jika mengamati orang (yang dijadikan figure) yang kemampuannya kira-kira sama dengan kemampuan dirinya (si pengamat) ternyata gagal, hingga bisa membuat dirinya tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figure tersebut dalam jangka waktu yang lama. Kalau figure yang diamati berbeda jauh dengan dirinya, pengaruh vikarius tidak besar.

Persuasi sosial (Social persuation), efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistic dari apa yang dipersuasikan.

Keadaan emosi/fisik (emotional/physiological), keadaan emosi/fisik yang mengikuti suatu kegiatan akan berpengaruh efikasi diri dibidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun bisa juga terjadi, peningkatan emosi dalam batas yang tidak berlebihan dapat meningkatkan efikasi diri.

 

 

 

Strategi pengubahan sumber ekspektasi efikasi

Sumber

Cara induksi

Pengalaman Performansi

Participant modelling

Meniru model yang berprestasi.

Performance desensitization

Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu.

Performance exposure

Menonjolkan keberhasilan yang pernah di raih.

Self-instructed performance

 

Melatih diri untuk malakukan yang terbaik.

Pengalaman Vicarius

Living modeling

Mengamati model yang nyata.

Symbolic modeling

Mengamati model yang simbolik, film, komik atau cerita.

 

Persuasi Sosial

Sugestion

Mempengaruhi dengan kata-kata berdasarkan kepercayaan.

Exborstation

Nasehat, peringatan yang mendesak atau paksaan.

Self instruction

Memerintah diri sendiri.

Interpretive treatmen

Interprestasi baru memperbaiki interprestasi yang lama.

 

Pembangkit Emosi

Attribution

Merubah atribusi, penanggungjawab suatu kejadian emosional.

Relaxation biofeedback

Relaksasi.

Symbolic desensitization

Menghilangkan sikap emosi dengan modeling simbolik.

Symbolic exposure

 

Memunculkan emosi secara simbolik.

 

     Sumber: Psikologi Kepribadian (Alwisol, 2009)

 


Dukungan Sosial Orangtua

House (dalam Weiten, 1992), mengemukakan bahwa dengan adanya dukungan sosial maka kesejahteraan psikologis seseorang juga akan meningkat karena adanya perhatian, pengertian atau menimbulkan perasaan memiliki, meningkatkan harga diri, serta memiliki perasaan positif mengenai diri sendiri. Dukungan sosial orangtua adalah dorongan atau bantuan yang diterima mahasiswa dari orangtuanya sehingga dapat meningkatkan keyakinan diri dan memiliki perasaan positif mengenai dirinya sendiri untuk menjalani perkuliahan.

 

Aspek-aspek Dukungan Sosial Orangtua

Emotional Support: individu membutuhkan simpati, cinta, kepercayaan serta kebutuhan didengarkan. Individu dapat merasakan bahwa orang di sekitarnya memberikan perhatian pada dirinya, mendengarkan, simpati terhadap masalah pribadi maupun pekerjaan.

Appraisal Support: penilaian terhadap individu dengan cara memberi penghargaan atau memberi penilaian yang mendukung pekerjaan, prestasi, dan perilaku seseorang dalam peranan sosial dan memberikan feedback yang saling tergantung.

Informational Support: menyediakan informasi yang berguna bagi seseorang untuk mengatasi persoalan pribadi maupun pekerjaan. Informasi ini dapat berupa nasehat, pengarahan, dan informasi lain yang sesuai dengan kebutuhan.

Instrumental Support: dukungan instrument juga disebut dukungan nyata atau dukungan secara materi, seperti bantuan pinjaman uang, transportasi, membantu pekerjaan tugas, meluangkan waktu dan lain-lain.

 

Mahasiswa Baru

Mahasiswa baru adalah siswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi kurang dari 3 (tiga) semester, atau telah menempuh pendidikan kurang lebih lima belas bulan. Kriteria ini disusun berdasarkan ketentuan jumlah matakuliah dasar umum (MKDU) yang masih diambil dalam studi normal sampai semester 3. Selanjutnya pada semester 4, mahasiswa sudah konsentrasi penuh pada mata kuliah fakultas atau jurusan masing-masing (dalam rahim, 2006).

Awal memasuki dunia pendidikan tinggi, menurut Rahim (2006), mahasiswa baru sudah dituntut untuk mempunyai sikap kritis dan aktif dalam belajar yang sudah diperkenalkan saat mengikuti orientasi pengenalan kampus (ospek). Pengenalan kampus pada penataran mahasiswa baru bukan saja mengenali kondisi lingkungan, melainkan juga pengenalan terhadap materi pelajaran di perguruan tinggi yang lebih meluas dan mendalam dibandingkan dengan bahan pelajaran di sekolah menengah. Juga dikenalkan bahwa di perguruan tinggi yang diberikan adalah ilmunya itu sendiri, termasuk metodologi sebagai alat pengembangan ilmu, sehingga dengan pemberian materi dimaksudkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Hakekat dari belajar di perguruan tinggi adalah menerima materi kuliah untuk dikembangkan lebih lanjut.

Dari definisi tersebut, Rahim (2006), memberikan alasan bahwa pada mahasiswa baru terdapat hal yang harus dipahami, yaitu adanya perbedaan pokok antara belajar di sekolah menengah dengan perguruan tinggi terutama terletak pada sifat materi pelajaran yang dipelajari. Hal tersebut mengacu pada pendapat Mahardika (2003), bahwa di sekolah menengah pada dasarnya hanya memberikan kepada siswa pengenalan fakta-fakta ilmiah. Latihan soal dan praktikum memantapkan pengetahuan fakta ilmiah dengan jalan pengulangan dan penerapan sederhana. Ulangan dan ujian menilai apakah fakta ilmiah itu diketahui dan dipahami. Materi pelajaran yang diberikan sudah ditentukan, baik banyaknya maupun mendalamnya sehingga sudah diketahui sampai dimana bisa dipelajari. Jadi setiap mahasiswa, khususnya mahasiswa baru harus lebih aktif, tanpa adanya aktivitas maka proses belajar tidak akan terjadi.

 

Dasar Teori

Manusia di tuntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. penyesuaian diri pada perkuliahan yang baik bisa membantu seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi sekarang maupun masalah-masalah selanjutnya dimasa mendatang sehingga dapat memberikan suatu prestasi untuk dirinya. Penyesuaian diri pada perkuliahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah perilaku yang terdiri dari proses psikologis yang berupa kesesuaian antara kemampuan yang ada dengan tuntutan hidup yang berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang di bidang akademik, yang akan dikaji dari self knowledge, self objectivity, self control, good interpersonal relationship, dan satisfaction in work.

Self knowledge-self insight, merupakan salah satu kriteria yang mendukung proses penyesuaian diri dan mendukung kriteria adjustment yaitu kemampuan untuk berperilaku dan berpikir yang didasarkan atas pengetahuan obyektif (self objectivity) dan mendukung menerima diri secara positif serta dapat menghargai diri sendiri lebih positif (self acceptance). Selain kedua aspek tersebut seseorang dituntut untuk mampu mengarahkan dan meregulasi impuls, pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi keterangan dan masalah yang dihadapinya serta pengembangan kepribadiannya pada tujuan yang matang (self control-self development). Hal ini dapat diartikan bahwa mahasiswa yang dapat menerima kelebihan dan kekurangan diri, serta mampu memandang setiap realitas dan peristiwa secara objektif, maka dengan sendirinya akan berusaha meningkatkan kemampuan dirinya ketika menghadapi situasi yang merangsang emosinya agar dapat menjaga hubungan dengan lingkungan tetap baik.

Mahasiswa yang memiliki kemampuan dalam mengenali potensi dirinya dan mampu mengontrol diri dengan baik, dengan sendirinya akan menunjukkan perilakunya membangun hubungan interpersonal yang baik dengan kasih sayang, ramah, menghargai hak, pendapat dan perbedaan dengan orang lain yang pada dasarnya berbeda dengan dirinya sendiri (good interpersonal relationship). Dengan demikian mahasiswa yang mampu menyesuaikan diri pada perkuliahan dengan baik terhadap diri dan lingkungan sosialnya, akan menunjukkan keselarasan hidup, sehingga dapat merasakan kepuasaan dari apa yang telah dikerjakannya (satisfaction in working). Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial orangtua yang diberikan lingkungan kepada mahasiswa akan berperan serta dalam pemenuhan kebutuhan mahasiswa tersebut yang bisa saja didapatkan dari anggota-anggota suatu jaringan sosial seperti orangtua, keluarga, teman, maupun dosen. Kondisi yang demikian akan mendorong seseorang dan semakin mempengaruhi keyakinan dirinya serta kesanggupannya untuk menyelesaikan studi yang sedang ditempuh seta menyelesaikan setiap permasalahan karena orientasi dalam proses belajar adalah mencapai hasil sesuai ynag diharapkan.

Dari deskripsi tersebut, peneliti ingin mengungkap keterkaitan antara efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua terhadap penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan dalam suatu studi korelasional berganda.

 

Hipotesis

 

Penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai berikut:

  1. Ada hubungan positif antara efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.
  2. Ada hubungan positif antara efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.
  3. Ada hubungan positif antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

 

Metode

 

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Nusantara PGRI Kediri, diambil dari mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, khususnya pada Program Studi PG-PAUD, PGSD, Bimbingan dan Konseling. Jumlah subjek penelitian adalah 100 mahasiswa, yang terdiri dari 42 mahasiswa laki-laki dan 58 mahasiswa perempuan. Subjek penelitian ini ditentukan dengan teknik random sampling, dan mempunyai karakteristik mahasiswa pada tahun pertama dan yang tinggal bersama orangtua kandung.

 

Definisi Operasional Variabel

Variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini adalah: variabel tergantungnya (Y) adalah penyesuaian diri pada perkuliahan, sedangkan variabel bebasnya (X) ada dua, yaitu efikasi diri akademik (X1) dan dukungan sosial orangtua (X2).

Penyesuaian diri pada perkuliahan mahasiswa merupakan suatu usaha yang dilakukan mahasiswa baru untuk mengatasi hambatan secara psikologis maupun interaksi sosial agar tetap mampu bertahan dengan situasi di lingkungan pendidikan tinggi, yang meliputi: self knowledge, self objectivity, self control, good interpersonal relationship, satisfaction in work. Untuk mengungkap penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan digunakan skala penyesuaian diri pada perkuliahan yang disusun berdasarkan konsep Schneiders. Semakin tinggi skor total yang diperoleh individu menunjukkan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh menunjukkan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan semakin rendah.

Efikasi diri akademik merupakan kepercayaan mahasiswa terhadap kemampuan dirinya dalam menyesuaikan tugas-tugas akademik yang didasarkan atas keyakinan diri akan kemampuan dalam bidang pendidikan, pentingnya nilai dan harapan pada hasil yang akan dicapai dari kegiatan belajar. Tinggi rendahnya efikasi diri akademik diketahui dari tinggi rendahnya skor efikasi diri akademik yang diukur dari aspek-aspek efikasi diri akademik menurut Bandura (Alwisol, 2009) meliputi: pengharapan efikasi akademik, pengharapan hasil akademik, dan nilai hasil akademik. Untuk mengungkap efikasi diri akademik mahasiswa digunakan skala efikasi diri akademik yang disusun berdasarkan konsep Bandura. Semakin tinggi skor total yang diperoleh individu menunjukkan efikasi diri akademik mahasiswa semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh menunjukkan efikasi diri akademik mahasiswa semakin rendah.

Teknik Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa tiga buah skala yaitu skala penyesuaian diri perkuliahan, skala efikasi diri akademik, dan skala dukungan sosial akademik dari orangtua. Alat ukur penelitian dilakukan uji coba kepada 50 mahasiswa dengan memilih 5 alternatif jawaban penilaian antara 0-4 (untuk aitem pernyataan unfavorable) dan 4-0 (untuk aitem pernyataan favorable). Data yang diperoleh dari ketiga skala tersebut kemudian dianalisis melalui uji validitas dan reliabilitas untuk menguji daya diskriminasi aitem dan reliabilitas alat ukur. Pada awalnya skala penyesuaian diri pada perkuliahan terdiri dari 56 aitem, setelah dilakukan uji daya diskriminasi aitem, menunjukkan 30 aitem memenuhi syarat indeks daya diskriminasi dan 26 aitem gugur. Skala efikasi diri akademik pada awalnya terdiri dari 50 aitem, setelah diujicobakan kepada mahasiswa menunjukkan 34 aitem memenuhi syarat indeks daya diskriminasi dan 16 aitem gugur. Skala dukungan sosial orangtua pada awalnya terdiri dari 44 aitem, setelah diujicobakan kepada mahasiswa, hasil uji daya diskriminasi aitem menunjukkan 39 aitem memenuhi syarat indeks daya diskriminasi dan 5 aitem gugur. Skor butir valid atau sahih selanjutnya dianalisis menggunakan analisis regresi ganda, dan seluruh perhitungan uji statistik dalam penelitian ini menggunakan bantuan komputer SPSS 18.0 for windows.

 

Teknik Analisis Data

Data penelitian dianalisis dengan analisis regresi ganda. Sebelum dilakukan analisis regresi ganda, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis uji normalitas sebaran dan uji linearitas hubungan. Uji normalitas sebaran variabel penyesuaian diri pada perkuliahan dilakukan dengan teknik Kolmogorov-Smirnof, hasil distribusi sebaran variabel penyesuaian diri menunjukkan normal. Sedangkan hasil uji linearitas hubungan antara efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri pada perkuliahan menunjukkan hubungan yang linier, begitu pula hasil hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri pada perkuliahan menunjukkan hubungan yang linier. Perhitungan uji linearitas hubungan dalam penelitian ini menggunakan SPSS 18.0 for windows. Selain itu, uji multikolinieritas hubungan juga dilakukan untuk mengetahui korelasi linier yang mendekati sempurna atau sempurna diantara variabel independen dalam model analisis regresi. Cara yang digunakan untuk uji multikolinieritas adalah membandingkan nilai Tolerance dan nilai Varian Inflation Factor (VIF). Hasil Colinearty Statistic variabel efikasi diri akademik dan variabel dukungan sosial orangtua menunjukkan nilai tolerance = 0,886 > 0,30 dan VIF = 1,128 > 0,90. Berdasarkan hasil uji multikolinieritas, menunjukkan tidak terjadi multikolinieritas, dengan demikian asumsi tidak terjadi multikolinieritas data penelitian dapat dipenuhi.

 

 

 

Hasil

 

Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian mengenai penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, efikasi diri akademik, dan dukungan sosial orangtua dipaparkan pada tabel 1 dan tabel 2, sebagai berikut:

 

 

Tabel 1. Deskripsi data penelitian

 Variabel

N

Rerata

SD

Penyesuaian diri pada perkuliahan

100

87,99

12,105

Efikasi diri akademik

100

82,00

18,973

Dukungan sosial akademik dari orangtua

100

124,91

18,284

 

 

Tabel 2. Sebaran frekuensi subjek pada variabel penelitian

Variabel

Sangat Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

Penyesuaian diri pada perkuliahan

5

5

20

20

43

43

24

24

8

8

Efikasi diri akademik

8

8

19

19

39

39

26

26

8

8

Dukungan sosial orangtua

6

6

14

14

49

49

29

29

2

2

 

 

Berdasarkan tabel 1 dan tabel 2 di atas, dijelaskan sebagai berikut:

Rata-rata empiris penyesuaian diri pada perkuliahan sebesar 87,99 dan SD = 12,105. Penyesuaian diri pada perkuliahan diatas kategori sedang sebesar 32% (24% kategori tinggi, dan 8% sangat tinggi). Penyesuaian diri pada perkuliahan kategori sedang sebesar 43% dan sisanya 25% berada di bawah kategori sedang (20% kategori rendah, dan 5% kategori sangat rendah). Data penelitian menggambarkan penyesuaian diri pada perkuliahan sebagian besar 68% berada pada kategori sedang. Temuan ini memiliki arti penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan sebagian besar perlu ditingkatkan.

Rata-rata empiris efikasi diri akademik sebesar 82,00 dan SD = 18,973. Efikasi diri akademik diatas kategori sedang sebesar 34% (26% kategori tinggi, dan 8% sangat tinggi). Efikasi diri akademik kategori sedang sebesar 39% dan sisanya 27% berada di bawah kategori sedang (19% kategori rendah, dan 8% kategori sangat rendah). Data penelitian menggambarkan efikasi diri akademik sebagian besar 66% berada pada kategori sedang. Temuan ini memiliki arti efikasi diri akademik sebagian besar perlu ditingkatkan.

Rata-rata empiris dukungan sosial orangtua yang dipersepsi mahasiswa sebesar 124,91 dan SD = 18,284. Dukungan sosial orangtua yang dipersepsi mahasiswa diatas kategori sedang sebesar 31% (29% kategori tinggi, dan 2% sangat tinggi). Dukungan sosial orangtua yang dipersepsi mahasiswa kategori sedang sebesar 49% dan sisanya 20% berada di bawah kategori sedang (14% kategori rendah, dan 6% kategori sangat rendah). Data penelitian menggambarkan dukungan sosial akademik dari orangtua yang dipersepsi mahasiswa sebagian besar 69% berada pada kategori sedang.

 

Hubungan efikasi diri akademik, dan dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

Hasil analisis regresi ganda diperoleh besar R = 0,684; F = 42,717; p = 0,000 (p < 0,01). Hasil analisis data ini menunjukkan efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua secara bersama-sama berhubungan dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

 

 

Tabel 3. Hasil besaran harga B

Variabel

B

Konstanta

44,624

Efikasi diri akademik

0,403

Dukungan sosial akademik dari orangtua

0,082

 

 

Tabel 3, menunjukkan semua variabel bebas yang meliputi efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua memprediksi penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan dengan model persamaan regresi sebagai berikut:

 

Y = 44,624 + 0,403 X1 + 0,082 X2

 

Model persamaan regresi tersebut menggambarkan bahwa:

Jika tidak ada pengaruh X1 (efikasi diri akademik), X2 (dukungan sosial orangtua), maka skor penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan 44,624.

Koefisien regresi (B) variabel efikasi diri akademik (X1) sebesar 0,403. Data penelitian menunjukkan dengan mengontrol variabel dukungan sosial orangtua (X2), maka setiap adanya penambahan atau kenaikan satu satuan dari efikasi diri akademik akan terjadi kenaikan atau peningkatan skor penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan sebesar 0,403.

Koefisien regresi (B) variabel dukungan sosial orangtua (X2) sebesar 0,082. Data penelitian menunjukkan dengan mengontrol variabel efikasi diri akademik (X1), maka setiap adanya penambahan atau kenaikan satu satuan dari dukungan sosial orangtua akan terjadi kenaikan atau peningkatan skor penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan sebesar 0,082.

Data penelitian menunjukkan R² = 0,468 yang berarti secara bersama-sama variabel efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua mampu memberikan pengaruh sebesar 46,80% terhadap penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, sisanya sebesar 53,20% penyesuaian diri pada perkuliahan mahasiswa dipengaruhi oleh variabel atau faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini.

Hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, diterima. Artinya semakin tinggi efikasi diri akademik dan dukungan sosial akademik dari orangtua maka semakin tinggi penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Sebaliknya, semakin rendah efikasi diri akademik dan dukungan sosial akademik dari orangtua maka semakin rendah penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

 

Hubungan efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri pada perkuliahan.

Hasil analisis korelasi efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri pada perkuliahan diperoleh r parsial = 0,632;  t = 8,039 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Data ini menunjukkan ada korelasi positif antara efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri pada perkuliahan.

Hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan positif efikasi diri akademik dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, diterima. Artinya semakin tinggi efikasi diri akademik maka semakin tinggi penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Sebaliknya, semakin rendah efikasi diri akademik maka semakin rendah penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

 

Hubungan dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri pada perkuliahan.

Hasil analisis korelasi dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri pada perkuliahan diperoleh r parsial = 0,159;  t = 1,582 dengan p = 0,117 (p > 0,05). Data ini menunjukkan tidak ada korelasi positif antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

Hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan positif dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, ditolak.

 

Bahasan

Hasil penelitian membuktikan ada hubungan antara efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Variabel efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua berkorelasi dan memiliki prediksi positif terhadap penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Artinya semakin tinggi efikasi diri akademik dan dukungan sosial akademik dari orangtua maka semakin tinggi penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.  Hal tersebut sejalan dengan hipotesis yang diajukan bahwa efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua akan menghasilkan penyesuaian diri mahasiswa yang baik pada perkuliahan tahun pertama.

Variabel efikasi diri akademik berkorelasi dan memiliki prediksi positif terhadap penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Artinya semakin tinggi efikasi diri akademik maka semakin tinggi penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan. Hal tersebut sejalan dengan hipotesis yang diajukan bahwa efikasi diri akademik akan menghasilkan penyesuaian diri mahasiswa yang baik pada perkuliahan tahun pertama.

Selain keyakinan atau kemampuan akademik, mahasiswa juga memperoleh dukungan sosial akademik dari orangtua yang dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian dirinya. Dukungan sosial dalam penelitian ini hanya difokuskan dukungan sosial orangtua, karena semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Namun, dalam penelitian ini variabel dukungan sosial orangtua secara tersendiri tidak berhubungan dengan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan, hal ini dikarenakan adanya faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian diri mahasiswa selain dari dukungan sosial akademik dari orangtua. Diantaranya dukungan dari teman sebaya, karena pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu lebih senang mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pikiran dan perasaan. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, kehidupan kelompok sebayanya turut berperan dalam perkembangan tingkah sosial dan penyesuaian diri seorang anak.

Selain itu, hubungan antar anak dengan orangtua juga mempengaruhi kedekatan anak dengan orangtua. Rasa dekat dengan orangtua atau keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orangtua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal tersebut seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci.  Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu cukup panjang maka akan berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dikemudian hari. Meskipun bagi mahasiswa hal ini kurang berpengaruh karena mahasiswa sudah lebih matang tingkat pemahamannya namun tidak menutup kemungkinan pada beberapa mahasiswa kondisi tersebut akan membuat tertekan, cemas dan stres.

 

Simpulan

 

Dari hasil perhitungan uji statistik, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua terhadap penyesuaian diri mahasiswa. Korelasi terjadi karena semakin tinggi skor efikasi diri akademik dan dukungan sosial orangtua, maka semakin tinggi pula skor penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

Begitu pula efikasi diri akademik pada mahasiswa secara tersendiri memberikan pengaruh yang lebih dominan terhadap penyesuaian diri mahasiswa dalam perkuliahan, sehingga bagi mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri akademik yang tinggi akan sangat membantu dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan.

Sementara itu, untuk dukungan sosial orangtua, tidak terlalu banyak memberikan bantuan pada mahasiswa dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam perkuliahan. Karena dukungan yang diterima kurang tepat dengan kondisi kesulitan yang dihadapi oleh para mahasiswa. Dukungan terbesar yang diberikan oleh orangtua lebih pada material, padahal yang lebih dibutuhkan oleh para mahasiswa adalah dukungan berupa saran, perhatian dan arahan untuk mengatasi permasalahan perkuliahan agar menjadi lebih baik, hal ini disebabkan karena dilihat dari kesulitan yang paling banyak dihadapi mahasiswa adalah masalah pada pendidikannya yaitu sistem pengajaran dan materi perkuliahan. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut dukungan yang lebih banyak dibutuhkan oleh mahasiswa adalah dari pihak keluarga kampus, seperti dosen, teman sebayanya, dan teman kerja kelompoknya.

Kemampuan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan di Universitas Nusantara PGRI Kediri mencapai hasil yang baik, hanya saja kesulitan yang dihadapi adalah lebih disebabkan oleh sistem pengajaran dan tingkat kesulitan materi perkuliahan. Hal ini juga dapat disebabkan karena mahasiswa berasal dari SMA yang beragam dan sebagian ada yang berasal dari luar kota. Oleh karena itu, perbedaan standart pendidikan masing-masing SMA asal dapat membuat mahasiswa diharuskan kerja keras untuk mengikuti tuntutan pendidikan perkuliahan.

Bagi penelitian selanjutnya, apabila melakukan penelitian lebih memperhatikan subjek yang akan diteliti. Selain itu, mengembangkan variabel dukungan sosial tidak hanya terbatas dari lingkungan keluarga atau orangtua saja, tetapi dapat diperluas dari lingkungan seperti teman dekat, teman kampus, atau teman sekelompoknya. Dapat juga untuk memilih variabel bebas lain yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri seperti konsep diri, dan prestasi akademik.

 

Daftar Pustaka

 

Ancok, D. (1994). Teknik penyusunan skala pengukuran. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.

Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian. Edisi: Revisi. Malang: UMM Press.

Azwar S. (1996). Tes prestasi, fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar S. (1997). Validitas dan reliabilitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandura, A. (1995). Exercise of personal and collective efficacy inchaning societies. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Chemers, M.M., Hu, L., & Garcia, F.B (2001). Academic self efficacy and First-Years College Student Performance and Adjustment. Journal of Educational Psychology. Vol. 93, No.1, p. 55-64.

Daryanto, S.S. (1997). Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.

Ellias, S.M. & Loomis. R.J. (2000). Using an academic self-efficacy scale to address university major persistence. Journal of college student development.

Farid, M. (2011). Hubungan penalaran moral, kecerdasan emosi, religiusitas, dan pola asuh orangtua otoritatif dengan perilaku prososial remaja. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Feist, Jess & Gregory. (2007). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.

Fiedlander. L.J. (2007). Social support, self esteem, and stress as predictors of adjustment to university among first- year undergraduates.

Fitriah, Y. (2010). Pola asuh orangtua, percaya diri dan penyesuaian sosial remaja. Tesis. Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945.

Grasha & Krischenbaum. (1980). Psychology of adjustment and competence (an applied approach).

Hadi, S. (2000). Statistik. Jilid II. Yogyakarta: Andi offset.

Hurlock, E.B. (1996). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B. (1998). Perkembangan anak. Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B. (1998). Perkembangan anak. Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Kartono, K. (1992). Psikologi anak. Bandung: Penerbit Alumni.

Klassen, R.M. (2004). A cross cultural investigation of the efficacy beliefs of south asian immigrant and anglo Canadian nonimmigrant early adolescents. Journal of Educational Psychology. 2004. Vol. 96, No. 4. P. 731-742.

Kusuma, P.P. & Gusniarti, U. (2008). Hubungan antara penyesuaian diri sosial dengan stress pada siswa akselerasi.

Mahardika. (2003). 30 menit mengenal cara belajar efektif di perguruan tinggi. Solo: Pondok Edukasi.

Melissa, J.L. Davis, R., Saunders, J., Williams, T., & Williams. H.J. (2005). Academic self-efficacy among African American youths: Implications for school social work practice. Journal Children and Schools, volume 27. Number 1, January 2005. P. 5-14.

Mulyani, S. (2008). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Universitas Terbuka.

Mu’tadin, Z. (2002). Penyesuaian diri remaja. Jakarta: Erlangga

Poyrazli, S. (2002). Relation between assertiveness, academic self-efficacy, and psychosocial adjustment among international graduate students.

Rakhmawati, L. (2010). Hubungan antara self efficacy dan adversity qutient dengan motivasi berprestasi pada siswa SMA Darul ulum 2 BPP Teknologi Jombang. Tesis. Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945

Santrock, J.W. (2003). Perkembangan rentang masa hidup. Jakarta: Erlangga.

Sarason, B. (1990). Sosial support an interactional view. USA: John Wiley & Sons.

Sarwono, S.W. (2002). Psikologi remaja. (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sugiono. (2006). Statistik untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sujanto, A. (1996). Psikologi perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryabrata, S. (1996). Metode penelitian. Jakarta: Rajawali.

Suryabrata, S. (2000). Pengembangan alat ukur psikologi. Yogyakarta: Andi offset.

Weiten. W. (1992). Psychology: Theme and variations. (Second ed). California: Books Cole Publishing Company.

Yusuf, S.L.N. (2000). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT. Remaja Posdakarya.

 

 

 

Juni 14, 2012 Posted by | Uncategorized | 3 Komentar

HUBUNGAN ANTARA METAKOGNISI DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN KREATIVITAS

Terbit pada Jurnal Psikologi Persona Volume 01 Nomor 01 Juni 2012

 

 

Oleh:

Kuntjojo

Andik Matulessy

 

 

 

Abstract, The research was conducted to find out the relationship between the metacognition and the achievement motivation and the creativity. The subject of the research was the first semester students of Counseling Department academic year 2011/2012 Nusantara PGRI University Kediri. The instrument used was the creativity scale, the metacognition scale, and the achievement motivation scale. The result of the research showed that metacognition and achievement motivation was significantly associated with the creativity shown by the calculated F value 63,084 and the significance of 0,000 (<0,05). The result of determination is 0,508. It means that 50,8 % independent variables (metacognition and achievement motivation) gave contribution to dependent variable (creativity). The result of partial correlation analysis showed that there is a very significant relationship between metacognition and creativity. There is a very significant positive relationship between achievement motivation and creativity.

 

Keywords : creativity, metacognition, and achievement motivation

 

 

Intisari, Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan metakognisi dan motivasi berprestasi dengan kreativitas mahasiswa. Subjek penelitian adalah 125 mahasiswa Semester I 2011/2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri. Instrumen yang dipergunakan adalah skala kreativitas, skala metakognisi, dan skala motivasi berpestasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama berhubungan positif sangat signifikan dengan kreativitas yang ditunjukkan dengan nilai F hitung sebesar 63,084 dan signifikansi 0,000 (< 0,05).  Hasil analisi regresi menunjukkkan bahwa koefisien determinasi sebesar 0,508. Artinya prosentase sumbangan pengaruh variabel bebas (metakognisi dan motivasi berprestasi) secara bersama terhadap variabel kreativitas sebesar 50,8 %. Hasil analsis korelasi secara parsial menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang  sangat signifikan antara metakognisi dengan kreativitas, ada hubungan positif yang sangat signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas.

 

Kata kunci: kreativitas, metakognisi, motivasi berprestasi, mahasiswa

 

 

 

Perkembangan seni, ilmu, dan teknologi saat ini luar biasa pesat. Berbagai karya seni, apakah seni rupa, seni suara, musik, tari, dan seterusnya dihasilkan dan sebagian telah dinyatakan sebagai  karya  monumental. Dalam bidang ilmu telah dikembangkan berbagai ilmu dasar dan juga ilmu terapan yang memberikan kontribusi besar bagi kehidupan.  Dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi telah dihasilkan berbagai perangkat  yang kemudian menjadi bagian dari kebutuhan hidup manusia, misalnya saja komputer, handphone, pc tablet, e-mail, web browser seperti google, yahoo, dst., situs-situs jejaring sosial semacam facebook dan  tweeter, dan sebaginya. Temuan-temuan berupa karya yang luar biasa tersebut merupakan hasil dari figur-figur yang memiliki kreativitas  yang tinggi. 

Kreativitas merupakan kemampuan intelektual yang sangat penting karena dengan kreativitasnya manusia mampu memecahkan berbagai masalah dan menciptakan berbagai hal seperti konsep, teori, perangkat teknologi, dan seterusnya, yang sangat diperlukan bagi kehidupan sehingga kreativitas dinyatakan sebagai kunci untuk meraih sukses dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat saat ini.  Proses mengambil keputusan,  pemecahan masalah, merekrut, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia adalah contoh-contoh realitas yang membutuhkan solusi kreatif. 

Pentingnya fungsi adaptif  kreativitas dipertegas pula oleh Munandar (2007) dengan pernyataanya,  bahwa hidup dalam suatu masa di mana ilmu pengetahuan berkembangan dengan pesatnya untuk digunakan secara konstruktif maupun destruktif, suatu adaptasi kreatif merupakan satu-satunya kemungkinan bagi suatu bangsa yang sedang berkembang untuk dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dan untuk dapat menghadapi problema-problema yang semakin kompleks. Kreativitas merupakan faktor yang sangat menentukan untuk meraih sukses masa depan.  Hasil penelitian yang dilakukan oleh IBM Global CEO pada tahun 2010 dengan mensurvai 1500 pejabat eksekutif kepala dari 60 negara dan 33 industri di seluruh dunia, bahwa disiplin manajemen, integritas, atau bahkan visi keberhasilan mengarahkan dunia yang semakin kompleks pada peningkatkan membutuhkan kreativitas (Naiman, 2010:  http://www.creativityatwork. Com /articles Content/ whatis .htm.).

Belajar untuk menjadi kreatif mirip dengan belajar berolahraga, yaitu membutuhkan adanya potensi, lingkungan yang kondusif, dan latihan terus menerus. Dalam jurnal Creativity Research Journal, Fasko (2001) menyatakan bahwa teknik mengajar yang menstimuli baik pemikiran konvergen maupun divergen merupakan proses yang penting untuk merangsang pemikiran kreatif dan lebih menantang untuk peserta didik yang kreatif.

Usaha pengembangan kreativitas peserta didik, termasuk mahasiswa, merupakan kebutuhan mengingat pentingnya peranan kreativitas pada satu sisi belum berkembangnya kreativitas mahasiswa secara optimal. Gejala-gejala yang menunjukkan adanya masalah dalam perkembangan kreativitas diantaranya:  mahasiswa merasa keberatan dan cenderung menolak jika diberi tugas yang menantang,  ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang  baru, mengambil karya orang lain dan diakui sebagai karyanya jika diberi tugas menulis makalah atau artikel, ketika mengajukan judul skripsi ada kecenderungan mengulang judul-judul yang sudah ada, ketika dalam mengikuti perkuliahan ada materi yang tidak dipahami tidak mau bertanya padahal sudah diberi kesempatan dan dimotivasi untuk bertanya, serta rasa ingin tahu akan sesuatu kurang.

Belum berkembanganya secara optimal kreativitas mahasiswa dapat dikaji berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah metakognisi dan motivasi berprestasi.  Lemahnya kemampuan  kognisi, terutama metakognisi menyebabkan mahasiswa lemah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, memilih dan menerapkan strategi berpikir. Sebagaimana dinyatakan oleh Fasko (2000), bahwa beberapa aspek metakognisi yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural memberikan pengaruh pada kreativitas. Pengetahuan deklaratif memberikan pengaruh dalam hal informasi-informasi yang faktual  untuk berpikir secara kreatif dan pengetahuan prosedural menjadi pedoman untuk strategi berpikir.

 

Penelitian tentang Kreativitas, metakognisi, dan Motivasi Berprestasi

Ada beberapa penelitian tentang kreativitas diantaranya yang dilakukan oleh DeCharm dan Moeler, Hakim, dan Suharnan. DeCharm dan Moeler serta Hakim pernah meneliti hubungan  motivasi berprestasi dengan kreativitas. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas (Suharnan, 2011). Suharnan pada tahun 1998 melakukan penelitian tentang kreativitas dalam hubungannya dengan motivasi intrinsik-ekstrinsik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa motivasi intrinsik berperan penting di dalam proses-proses kreatif (Suharnan, 2011). 

Penelitian tentang metakognisi sejauh yang diketahui penulis belum sebanyak penelitian tentang kreativitas dan motivasi berprestasi. Peneliti yang telah melakukan penelitian dengan mengambil metakognisi sebagai variabel bebas antara lain  Coutinho (2006 dan 2007), Lee dan Bergin (2009), Rahman dan Masrur (2011).

Coutinho (2006) melakukan penelitian dengan judul The Relationship between the Need for Cognition, Metacognition, and Intellectual Task Performance dengan responden 417 mahasiswa Northern Illionis University. Variabel need for cognition diukur menggunakan the 18-item need for cognition scale, variabel metakognisi diukur menggunakan the 34-item trait metacognitive inventory sedangkan untuk mengukur variable task performance dipakai problem solved GRE analytical items.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara variable need for cognition dengan task performance dan tidak ada korelasi antara metacogniton dengan task performance.   Kemudian pada tahun 2007 Coutinho melakukan penelitian lagi tentang metakognisi namun dalam hubungan dengan variable lainnya, pencapaian tujuan (achievement goals) dan keberhasilan akademik (academic success).  Subjek yang diteliti  adalah  179  mahasiswa Midwestern University, Amerika Serikat. Instumen penelitian  yang  mereka  pakai  untuk mengukur variabel achievement goals adalah 25-item Goals Inventory sedangkan untuk mengungkap metakognisi mereka menggunakan the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama,  terdapat hubungan positif achievement goals dengan metacognition, kedua, ada hubungan positif metacognition dengan academic success (Coutinho, 2007). 

Lee dan Bergin (2009) melakukan penelitian tentang penggunaan metakognisi oleh anak-anak dalam pemecahan masalah sehari-hari. Subjek yang diteliti adalah murid sekolah dasar kelas V di wilayah Asia Fasifik. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variable adalah 25 item yang diseleksi dari 52-item metacognitive awareness inventori dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan penggunaan metakognisi dengan pemecahan masalah sehari-hari. 

Penelitian lain tentang metakognisi dilakukan oleh Rahman dan Masrur. Mereka telah melakukan survai dengan judul Is Metacognition a Single Variabel?  Subjek yang mereka teliti 200 pelajar yang berusia 15 – 16 tahun. Instumen penelitian yang mereka pakai untuk mengukur variabel metakognisi adalah the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison.Hasil penelitian menyatakan bahwa metakognisi bukan merupakan variabel tunggal melainkan variabel jamak. Mereka selanjutnya merekomendasikan bahwa diperlukan penelitian  untuk mengidentifikasi karakteristik metakognisi pada pelajar (Rahman dan Masrur, 2011).

Penelitian tentang motivasi berprestasi sudah banyak dilakukan dan kebanyakan menempatkan variabel ini sebagai variabel tergantung. Ada 3 penelitian tentang motivasi berprestasi yang dipaparkan pada uraian berikut, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zenzen (2002), Garliah dan Nasution (2005), dan Chaturvedi (2009).

Zenzen pada tahun 2002 melakukan penelitian untuk memperoleh gelar Master of Science Degree dengan judul Achievemen Motivation. Subjek penelitian adalah murid program Industrial Technology Kellogg Middle School, Minnesota. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa tidak ada hubungan motivasi berprestasi  dengan performansi siswa (students performance) (Zenzen, 2002).

Garliah dan Nasution pada tahun 2005 melakukan penelitian dengan judul Peran Pola Asuh Orangtua dalam Motivasi Berprestasi dengan subjek 100 mahasiswa Universitas Sumatra Utara. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ada perbedaan motivasi berprestasi mahasiswa pada berbagai bentuk pola asuh orang tua (Garliah dan Nasution, 2005).

Chaturvedi pada tahun 2009 melakukan penelitian tentang motivasi berprestasi dalam hubungannya dengan lingkungan sekolah dan pencapaian akademik (academic achievement) 300 pelajar di Bhopal, India. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan lingkungan sekolah dengan motivasi berprestasi dan pencapaian academik (Chaturvedi, 2009).

Berdasarkan paparan di atas dapat dinyatakan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana dipaparkan di atas. Persamaannya adalah, kreativitas diteliti dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi. Adapun perbedaannya adalah dalam penelitian ini kreativitas akan diteliti dalam hubungannya dengan metakognisi dan motivasi berprestasi. Perbedaan juga terjadi dalam hal subjek yang diteliti serta skala untuk mengukur variabel penelitian. Subjek penelitian ini adalah Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri dan skala yang dipergunakan untuk mengukur variabel adalah skala kreativitas yang diadopsi dari skala C.O.R.E., skala metakognisi  dan skala motivasi berprestasi yang dikembangkan oleh peneliti. 

Penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat,  baik bagi pengembangan ilmu, khususnya psikologi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan temuan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian teoritis tentang kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna, yang dapat dijadikan acuan  bagi upaya pengembangan kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi peserta didik, khususnya mahasiswa.

 

Tinjauan Pustaka

Kreativitas

Menurut Sternberg (2008), kreativitas sebagai proses memproduksi sesuatu yang orisinal dan bernilai. Solso dkk. (2008) mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya).

Suharnan (2011), setelah mengkaji berbagai pendapat dari para ahli tentang kreativitas selanjunya menyatakan bahwa kreativitas sering disebut berpikir kreatif (creative thinking), berpikir inovatif (innovative thinking), jika dikaitkan dengan kemampuan seseorang, kreativitas sebagai daya cipta, dan dalam konteks pemecahan masalah, kreativitas juga dapat disebut sebagai kecerdasan kreatif atau creative intelligence.  Selanjutnya Suharnan (2011) mengidentifikasi  substansi kreativitas,  yang   disebutnya  sebagai bagian pokok dari definisi kreativitas, yaitu: proses berpikir,  menemukan,  baru atau orisinal, dan berguna atau bernilai. Karakteristik pokok kreativitas, menurut European University Association (EUA) (2007), khususnya  untuk  konteks   pendidikan  tinggi    adalah:  originality,   appropriateness,   future orientationproblem-solving ability.

Berkenaan dengan karakteristik pribadi yang kreatif, Ormrod (2009) menyatakan bahwa individu yang kreatif memiliki karakteristik : menafsirkan masalah dan situasi secara fleksibel,  memiliki banyak informasi yang relevan dengan suatu tugas, mengombinasikan informasi dan ide-ide yang ada dengan cara-cara yang baru,   mengevaluasi pencapaian diri menurut standar yang tinggi, dan memiliki gairah dan karenanya menginvestasikan banyak waktu dan usaha dalam apa saja yang sedang mereka kerjakan.

Setelah melakukan pengkajian pendapat para ahli tentang karakteristik pribadi yang kreatif, Suharnan (2011), menyatakan bahwa secara umum karakteristik penting dari pribadi yang kreatif adalah: kebebasan, imajinasi, kecerdasan (ketajaman pandangan), rasa ingin tahu yang tinggi, mencintai pekerjaan, ketahannan fisik dan mental dalam bekerja, ambisi, dan toleran terhadap resiko (gagal). 

Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu: faktor genetis atau faktor bawaan; faktor personality (kepribadian) yang meliputi intelligence, motivation, divergent thinking, cultural dan capital; faktor Psycho-analysis (unconscious atau faktor ketidak sadaran); konteks di mana seseorang berada yang meliputi : policies, education/knowledge,  cultural/social environment, constraints/references, working environment, dan  geography/location; proses manajemen, yang meliputi: collaboration, system of relationship, dan organization;    faktor kognitif, mencakup process to create thoughts dan technical skills.

Membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas juga dapat didasarkan pada teori investasi (The investment Theory of Creativity) yang dikembangkan oleh Sternber dan Lubart. According to the investment theory, creativity requires a confluence of six distinct but interrelated resources: intellectual abilities, knowledge, styles of thinking, personality, motivation, and environment (Sternberg, 2006).  

Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut Suharnan (2011) tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau intelektual. Pengaruh kemampuan kognitif terhadap kreativitas juga dipertegas oleh Reed (2009) bahwa kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan, fleksibilitas kognitif, dan penilaian kesesuaian yang biasanya berasal dari korteks prefrontal.

Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission, sebagimana divisualisasikan dalam bentuk bagan diatas  dipengaruhi pula oleh motivasi.  Membahas hubungan motivasi dengan kreativitas, Woolfolk (2009) menyatakan bahwa motivasi, persistensi, dan dukungan sosial juga berperan penting dalam proses kreatif.   Motivasi berprestasi yang merupakan salah satu jenis motivasi,  menurut hasil penelitian DeCharms dan Muller serta hasil penelitian Hakim (Suharnan, 2011),  berkorelasi positif secara signifikan dengan kreativitas. Hubungan motivasi dengan kreativitas juga sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Sternberg.  Menurut Strenberg (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu.

 

Metakognisi

Livingstone (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai thinking about thinking. Metakognisi, menurut tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya adalah  proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Sementara itu Margaret W. Matlin (1998) dalam bukunya yang diberi judul Cognition, menyatakan : “Metacognition is our knowledge, awareness, and control of our cognitive process”. Papaleontiou-Louca (2008), setelah menelaah beberapa definisi metakognisi selanjutnya menyatakan : ‘Metacognition’ refers to all processes about cognition, such as sensing something about one’s own thinking, thinking about one’s thinking and responding to one’s own thinking by monitoring and regulating it.

Flavell (dalam Livingstone, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu  pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan  pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or regulation). Kedua komponen metakognisi, yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif, masing-masing memiliki sub komponen-sub komponen sebagaimana disebutkan berikut ini (Lee dan Bergin, 2009  dan Woolfolk,  2009).

1)   Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), yang terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut : a) declarative knowledge, b) procedural knowledge, dan c) conditional knowledge.

2)   Regulasi tentang kognisi (regulation about cognition), yang terdiri dari  sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut: a) planning (perencanaan), b) monitoring (pemantauan), dan c) evaluation (evaluasi).

Declarative knowledge, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar dan memecahkan masalah.  Procedural knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan  apa saja yang telah diketahui dalam declarative  knowledge tersebut dalam aktivitas belajar atau menyelesaikan suatu tugas. Conditional knowledge, adalah pengetahuan tentang bilamana menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain.

Planning, adalah kemampuan memutuskan seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas, strategi mana yang akan digunakan, bagaimana memulainya, sumber daya apa yang akan digunakan, urutan apa yang akan diikuti dan apa yang perlu diberi perhatian, dan sebagainya (Woolfolk, 2009). Monitoring,  merupakan real – time  awareness tentang bagaimana saya bekerja (Woolfolk, 2009).  Evaluation, adalah kemampuan membuat judgement tentang proses dan hasil berpikir dan belajar (Woolfolk, 2009).

Metakognisi berperan penting dalam pemecahan masalah. Menurut Gardner dan Karmiloff-Smith, sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Lee dan Bergin (2009), metakognisi merupakan dimensi penting dari pemecahan masalah karena kemampuan tersebut mencakup kesadaran akan masalah yang relevan dengan yang dipikirkan, pemantauan terhadap proses kognitif serta penerapan strategi yang tepat.

 

Motivasi Berprestasi

Konsep tentang motivasi berprestasi menjadi terkenal stelah McClelland mengemukakan hasil pemikirannya tentang kebutuhan untuk berprestasi (need of achievement), yang sering disingkat dengan n-Aach. Menurut Klose (2008), motivasi berprestasi,  khususnya pada peserta  didik, terdiri dari komponen-komponen:   social  comparison,    ability   and  effort,  reward salience, dan  task preference. Dengan  perbandingan sosial (social comparison), orientasi motivasi yang  positif akan diwakili oleh keyakinan bahwa perkembangan pribadi dan penguasaan terhadap suatu tugas atau pekerjaan lebih penting daripada membandingkan kinerja seseorang kepada orang lain. Kemampuan dan usaha (ability and effort) berhubungan erat. Prestasi dapat dicapai jika ada usaha untuk mencapainya dan usaha tersebut harus didukung oleh adanya kemampuan. Arti penting suatu hadiah (reward salience) adalah orientasi prestasi yang mencerminkan keyakinan siswa tentang perhargaan dari kelas dan sekolahnya.

Komponen-komponen  motivasi berprestasi, berdasarkan  A Tripartite Model of Motivation for Achievement  yang dikembangkan oleh Tuckman (1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99paper.htm),  terdiri dari tiga variabel generik, yaitu 1) attitude (sikap), 2) drive (dorongan), dan  3) strategy  (startegi).

1)      Attitude

Berdasarkan model tripartite, sikap yang dimaksud dalam dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi adalah self-efficacy, atau bagaimana keyakinan seseorang akan kemampuannya sendiri. Ada bukti yang cukup untuk mendukung pendapat bahwa self-efficacy berkontribusi pada dicapainya prestasi akademik (Tuckman,1999: http://dennislearningcenter. osu. edu/all-tour/apa99paper .htm).

2)      Drive

Keyakinan bahwa ada kemampuan untuk  melakukan suatu saja masih belum cukup untuk bisa mencapai keberhasilan.  Diperlukan energi agar keyakinan tersebut berkembang menjadi suatu tindakan.  Dalam konteks inilah drive (dorongan) diperlukan. Tanpa dorongan yang kuat seseorang enggan untuk berbuat, takut menghadapi tantangan persaingan, dan mudah putus asa.

3)      Strategy

Strategi dibutuhkan berkenaan dengan usaha melakukan tindakan yang efektif.  Tanpa strategi tidak ada acuan untuk membantu memilih dan membimbing tindakan yang diperlukan. Dengan adanya strategi selain percaya pada kemampuan sendiri, dan memiliki keinginan untuk mencapai hasil tertentu,  mampu melaksanakan strategi tertentu dapat mencapai  sukses dalam berbagai bidang, misalnya penulis, atlet, musisi, dan seterusnya (Tuckman,  1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99-paper. htm.).

 

Motivasi berprestasi, khususnya pada pelajar atau mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik  internal maupun eksternal, sebagaimana pernyataan  Klose (2008) berikut: “Several internal and external factors contribute to a student’s motivational in the classroom,  these include recognizing the relationship between effort and ability, understanding the classroom reward structures, balancing academic mastery and social competence, and choosing tasks of appropriate difficulty”  

 

Dasar Teori

Berdasarkan pendapat tentang kreativitas dari beberapa ahli sebagaimana dipaparkan dalam tinjauan pustaka dapat dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru dan unik serta berdaya guna. Dan apa yang ditemukan melalui proses kreatif merupakan sesuatu yang memiliki nilai.

Kreativitas seseorang berdasarkan pendapat para ahli dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:   faktor-faktor yang pembawaan;   faktor-faktor kepribadian yang di dalamnya terdapat kecerdasan, motivasi,  kemampuan berpikir divergen, dan sebagainya;  faktor-faktor yang bersumber dari ketidak sadaran; faktor-faktor kontekstual seperti lingkungan sosial, kebijakan suatu lembaga, letak geografis, dan seterusnya;  faktor-faktor proses manajemen mencakup kerjasama, sistem  hubungan sosial, dan organisasi;   faktor-faktor kognitif diantaranya proses untuk menciptakan pikiran-pikiran dan keterampilan teknis.

Bahwa setiap individu memiliki potensi kreatif yang dapat dikembangkan. Pengembangan potensi kreatif individu mestinya dilakukan sejak usia dini. Pengembangan kreativitas dapat dilakukan berdasarkan model C.O.R.E. sebagai kerangka kerja dan sasaran pengembangan, yang meliputi : Curiousity (rasa ingin tahu), Openness to experiences (terbuka pada pengalaman), Risk tolerance (berani menghadapi resiko) dan Energy (energi fisik dan mental).

Kreativitas  sebagaimana digambarkan dinyatakan oleh para ahli,  dipengaruhi oleh faktor kognitif, diantaranya adalah  process to create thoughts.  Keberhasilan proses-proses kreatif, membutuhkan keterlibatan kemampuan kognitif.  Kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan,  dan fleksibilitas kognitif. Salah satu kemampuan kognitif yang memberikan kontribusi pada kreativitas adalah metakognisi.

Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut para ahli tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual. Dan salah satu kemampuan kognitif  tingkat tinggi yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya karya-karya kreatif adalah metakognisi. Metakognisi antara lain terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan pemikiran kreatif dengan hanya memberikan informasi faktual. Pengetahuan prosedural menyediakan ketentuan-ketentuan  untuk berpikir strategis.

Berdasarkan pendapat para ahli ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu. Orang yang memiliki motivasi berprestasi menurut    A Tripartite Model of Motivation for Achievement, dapat dikenali dari 3 aspek, yaitu:  attitude (sikap) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep sef-efficacy,   drive (dorongan) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep incentive value, dan strategy (strategi)  yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep self-regulation.

Individu yang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi berdasarkan model di atas ditandai dengan : memiliki pandangan positif tentang tugas yang dihadapi dan kayakinan bahwa  dirinya mampu melakukan suatu tugas atau pekerjaan tertentu, memiliki memiliki dorongan yang kuat  untuk berhasil mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencari jalan yang efektif untuk berhasil menyelesaikan tugasnya.

 

Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka dan landasan teori selanjutnya dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1.  Ada hubungan positif metakognisi dan motivasi berprestasi dengan kreativitas.

2.  Ada hubungan positif metakognisi dengan kreativitas.

3.  Ada hubungan positif motivasi berprestasi dengan kreativitas.

 

Metode Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa semester I 2011 / 2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI yang terdiri dari 4 kelas, Kelas A, B, E, dan F yang berjumlah 180 orang.  Untuk mahasiswa kelas C dan D yang mahasiswa berjumlah 88 tidak dimasukkan dalam populasi penelitian karena karena dijadikan subjek untuk ujicoba instrumen penelitian. Pemilihan kelas C dan D untuk ujicoba instrumen dilakukan secara acak.

Teknik sampling dilakukan dengan menggunakan formula empiris yang dianjurkan oleh Isaac dan Michael (Sukardi, 2008),  jika jumlah populasi 180 sampel minimal 123 orang (68,33 %). Berdasarkan ketentuan tersebut sampel diambil dari setiap sub populasi sebasar 69 % secara acak dengan cara undian. Dengan demikian teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional random sampling.    

Pengukuran terhadap tiga variabel penelitian dilakukan dengan skala kreativitas, skala metakognisi, dan skala motivasi berprestasi. Pada setiap pernyataan, baik yang favourable maupun  yang unfavourable disertai dengan 4 pilihan jawaban, yaitu: sangat sesuai dengan kenyataan pada diri saya,  sesuai dengan kenyataan pada diri saya,  tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya, dan sangat tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya dan skor 4, 3, 2, dan 1 untuk pernyataan yang favourable serta 1, 2, 3, dan 4 untuk pernyataan yang unfavourable

Sebelum dipergunakan untuk mengukur variabel, masing-masing skala diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas skala dilakukan dengan korelasi teknik corrected Item – Total Correlation (Koefisien korelasi item – total), yaitu dengan mengkorelasikan antara skor tiap item dan skor total dan melakukan koreksi terhadap koefisien korelasi yang overestimasi.  Teknik  analisis untuk uji validitas    dilakukan  dengan  program  SPSS Versi 19.   Sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan item total, biasanya digunakan batasan r¡x ≥ 0,30 (Azwar, 2007). Namun untuk uji validitas skala digunakan kriteria 0,75 dengan pertimbangan agar item yang lolos jumlahnya masih mendekati jumlah keseluruhan item yang diujicobakan.  Keputusan tersebut didasarkan pada pendapat Azwar apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batas kriteria dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,25 misalnya,  sehingga jumlah item yang diinginkan tercapai (Azwar, 2007).

Butir-butir skala yang dinyatakan valid, selanjutnya diuji reliabilitasnya menggunakan metode  alpha dari Cronbach yang teknik perhitungannya dilakukan menggunakan program SPSS 19. Untuk mengetahui reliabilitas skala pengukuran reliabel, dasar yang dipergunakan adalah kriteria indeks reliabilitas sebagaimana dipaparkan oleh Arikunto (dalam Agung, 2010) sebagaimana disajikan dalam bentuk tabel 1 berikut ini.


 

 

Tabel 1.  Kriteria Indeks Reliabilitas

NO.

 

INTERVAL

KRITERIA

1.

< 0,200

Sangat rendah

2.

0,200 – 0,399

Rendah

3.

0,400 – 0,599

Cukup

4.

0,600 – 0,799

Tinggi

5.

0,800  –  1,00

Sangat tinggi

 

Sumber: Agung  (2010)

 

 

 

 

Subjek untuk uji validitas instrumen penelitian adalah mahasiswa Semester I 2011/2012 Program  Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri Kelas C dan D yang terpilih secara acak dari 6 kelas yang ada (Kelas A s/d F).  Dari mahasiswa kelas C dan D yang masing-masing berjumlah 44 selanjutnya diambil secara acak masing-masing sebesar 50%. Dengan demikian jumlah subjek yang dijadikan responden untuk keperluan uji validitas berjumlah 44 orang mahasiswa.

Skala yang akan dipakai untuk mengukur variabel kreativitas diadopsi dari skala C.O.R.E. yang dikembangkan oleh Suharnan. Suharnan (2002) mengembangkan alat ukur kreativitas berdasarkan empat karakteristik kepribadian yang dibutuhkan untuk bagi  usaha-usaha  di  bidang  kreativitas,  yaitu:  1.  rasa   ingin  tahu  (C:  curiousity), 2. keterbukaan  atas  pengalaman  dan  informasi  baru  (O: Openness  to experience),  3. tolerasi terhadap resiko   (R: risk tolerance),   dan  4. energi fisik dan psikis  (E: energy).

Setelah dilakukan uji validitas, dari 45 item skala kreativitas, 13 item dinyatakan gugur karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75. Item yang gugur sebanyak 13 tersebut mencakup semua indikator dari konsep C.O.R.E. Dengan gugurnya 13 item maka tinggal 32 item untuk skala kreativitas yang nantinya dipergunakan untuk mengukur variabel kreativitas. 

Butir-butir skala yang dinyatakan valid, yang berjumlah 32  selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,882. Berdasarkan kriteria indeks reliabilitas, nilai Alpha sebesar 0,882 mengandung arti bahwa reliabilitas skala kreativitas sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala kreativitas telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.

Berdasarkan komponen pengetahuan metakognisi yang terdiri dari tiga sub-komponen, yaitu: 1) pengetahuan deklaratif, 2) pengetahuan prosedural, dan 3) pengetahuan kondisional serta komponen keterampilan metakognisi yang juga terdiri dari tiga sub-komponen, yaitu: 1) perencanaan, 2) pemantauan,  dan 3) evaluasi selanjutnya disusun skala metakognisi dengan menempatkan keenam sub-komponen tersebut sebagai indikator dan dari setiap indikator ada 5 item yang terdiri dari pernyataan yang vafourable dan unvafourable. Dengan demikian jumlah item ada 30.

Uji validitas skala metakognisi juga dilakukan menggunakan korelasi teknik corrected Item – Total Correlation (Koefisien korelasi item – total). Setelah dilakukan uji validitas, dapat diidentifikasi ada 5 item yang harus  dikeluarkan (gugur), karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75. Butir-butir skala yang dinyatakan valid selanjutnya diuji reliabilitasnya.  Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,895.  Berdasarkan kriteria indeks reliabilitas sebagaimana yang terdapat pada tabel 1, nilai Alpha sebesar 0,895  menunjukkan bahwa reliabilitas skala metakognisi sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala metakognisi  telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.

Pengembangan skala motivasi berprestasi berdasarkan pada model yang dikembangkan oleh  oleh  Tuckman  (1999), yaitu A Tripartite Model of Motivation for Achievement  (http://dennislearningcenter. osu.edu/all-tour/ apa99paper.htm.).  Menurut A Tripartite Model of Motivation for Achievement, motivasi berprestasi mencakup tiga indikator, yaitu : sikap khususnya efikasi diri (self-efficacy),  dorongan (drive),  dan strategi.  Berdasarkan model tersebut dikembangkan skala yang terdiri dari berjumlah 33 butir pernyataan.

Setelah dilakukan analisis menggunakan teknik corrected item-total correlation, dari 33 item pada skala motivasi berprestasi, 6 item dinyatakan gugur karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75 sebagaimana norma yang juga digunakan untuk uji validitas skala kreativitas.  Butir-butir skala yang dinyatakan valid selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,886. Nilai Alpha sebesar 0,886 menunjukkan bahwa reliabilitas skala motivasi berprestasi sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala motivasi berprestasi telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.

Syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan analisis regresi adalah terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas, uji liniaritas, uji mulitikoliniaritas, dan uji autokorelasi. Uji normalitas dilakukan untuk apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Jika analisis data menggunakan metode parametrik, maka persyaratan normalitas harus terpenuhi, yaitu data berasal dari berdistribusi yang normal (Priyatno, 2009).  Pengujian normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov – Smirnov dan teknik perhitungan menggunakan program SPSS Versi 19. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau 0,05 (Priyatno, 2009). Dari hasil uji normalitas dapat diketahui bahwa Signifikansi (sig.) untuk data tentang kreativitas sebasar 0,052 data tentang metakognisi sebesar 0,052 dan untuk data tentang motivasi berprestasi sebesar 0,190. Karena signifikansi dari ketiga jenis data tersebut lebih besar dari 0,05 maka ketiga jenis data tersebut berdistribusi normal sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan analisis regresi.

Untuk keperluan uji linearitas digunakan test for linearity pada progam SPSS dengan taraf signifikansi 0,05.  Dua variabel dinyatakan mempunyai hubungan yang linear bila signifikansi (linearity) kurang dari 0,05 (Priyatno, 2009). Dari output SPSS 19 dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada linearity sebasar 0,000. Karena nilai linearity kurang dari 0,05. Berdasarkan hasil uji  linearitas terhadap variabel metakognisi dan variable kreativitas serta variabel motivasi berprestasi dan variabel kreativitas dapat syarat linearitas untuk analisis regresi terpenuhi.

Uji multikoliniaritas digunakan untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas, yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus dipenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas (Priyatno, 2009). Metode yang dipergunakan untuk menguji multikolenearitas  adalah dengan meilihat nilai variance inflation factor (VIF).  Jika nilai VIF lebih besar dari 5, maka ada multikolinearitas antar variabel independen (Priyatno, 2009).  Nilai variance inflation factor kedua variabel, yaitu metakognisi dan motivasi berprestasi sebasar 1,513. Nilai tersebut lebih kecil dari 5, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.

Untuk memenuhi syarat bahwa tidak terdapat autikorelasi dalam model regresi, maka dilakukan uji autokorelasi menggunakan metode Durbin – Watson. Jika nilai Durbin – Watson berada pada rentang – 2 ≤ Durbin – Watson ≤ 2, maka tidak terjadi autokorelasi (Agusyana dan Islandscript, 2011). Hasil perhitungan menggunakan program SPSS 19 menunjukkan nilai Durbin – Watson sebesar 1,999.  Nilai Durbin – Watson yang dihasilkan dari model regresi adalah 1,999, yang berarti berada diantara – 2 dan + 2, maka tidak terkadi autokorelasi dalam model regresi.  

Data hasil penelitian akan dianalisis dengan analisis regresi. Teknik perhitungan dilakukan dengan program SPSS Versi 19 dengan norma pengujian sebagai berikut. Jika pada tabel ANOVA nilai probabilitas ≤ nilai alfa (0,05) maka hipotesis pertama diterima. Sebaliknya,  jika pada tabel ANOVA nilai probabilitas ˃ nilai alfa (0,05) maka hipotesis pertama ditolak. Jika pada tabel korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat  nilai probabilitas ≤ nilai alfa (0,05) maka hipotesis kedua dan ketiga diterima. Sebaliknya jika pada tabel korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat  nilai probabilitas ˃ nilai alfa (0,05) maka hipotesis kedua dan ketiga  ditolak.

 

Hasil Penelitian

Jumlah responden semula 126, namun ada 1 responden yang merespon skala pengukuran variabel secara tidak lengkap dengan demikian jumlah responden untuk penelitian tinggal 125.  Dari tabel ringkasan ANOVA atau F test, diperoleh nilai F sebesar dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi kreativitas atau dengan kata lain metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama berkorelasi dengan kreativitas.  Dengan demikian hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan pengaruh variabel metakognisi dan motivasi terhadap kreativitas  dapat dilihat dari nilai R Square. Nilai R Square (R²) adalah 0,508. Hal tersebut menunjukkkan bahwa koefisien determinasi sebesar 0,508. Artinya prosentase sumbangan pengaruh variabel bebas (metakognisi dan motivasi berprestasi) secara bersama terhadap variabel kreativitas sebesar 50,8 % sedangkan sisanya, sebesar 49,2 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.

Berdasarkan output viewer SPSS yang terjadi dalam bentuk tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi  antara variabel metakognisi dengan variabel kreativitas dan variabel motivasi dengan variabel kreativitas ternayata sama yaitu sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari nilai r kritis (0,05), artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kedua variabel bebas secara terpisah  dengan variabel terikat. Dengan demikian hipotesis kedua dan ketiga, ada hubungan positif metakognisi dengan kreativitas dan ada hubungan positif motivasi berprestasi dengan kreativitas diterima.

 

Pembahasan

Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan bahwa secara bersama-sama metakognisi dan motivasi berprestasi berhubungan secara positif dengan kreativitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam teori investasi  (The Investment Theory of Creativity dari Sternberg dan Lumbart), bahwa kreativitas membutuhkan 6 sumber penting, diantaranya keterampilan intelektual dan motivasi (Sternberg, 2006). Begitu pula apa yang dinyatakan oleh Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), bahwa kreativitas dipengaruhi oleh 6 faktor, diantaranya kemampuan kognitif dan motivasi. Bahwa metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama mempengaruhi kreativitas sesuai pula dengan apa yang dinyatakan oleh Suharnan (2011) bahwa sinergi dari beberapa sumber, termasuk  metakognisi, sebagai keterampilan intelektual, dan motivasi berprestasi melahirkan kreativitas. 

Berdasarkan hasil penelitian tersebut kreativitas dapat dikembangkan melalui peningkatan metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama. Nilai R² sebasar 0,508 memiliki arti bahwa prosentasi sumbangan pengaruh metakognisi dan motivasi berprestasi terhadap kreativitas sebasar 50,8%.  Hal demikian berarti ada variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi yang hampir sama besarnya (49,2%) untuk pengembangan kreativitas.

Pengujian hipotesis kedua membawa hasil bahwa metakognisi berkorelasi positif secara kuat dengan kreativitas.  Fakta ini mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Suharnan (2011), menyatakan bahwa keberhasilan proses-proses kreatif tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau intelektual.  Menurut Suharnan (2005) kreativitas atau berpikir kreatif adalah proses kognitif untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru yang berguna. Kreativitas sebagai proses kognitif, kreativitas tidak lepas dari pengaruh kemampuan kognitif terutama metakognisi. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Solso dkk. (2008), bahwa kreativitas merupakan bentuk aktivitas kognitif,  yang tentu saja peranan peranan metakognisi.

Diterimanya hipotesis kedua juga menunjukkan adanya kesesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Fasko (2000) bahwa pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan kreativitas dengan menyediaan informasi-informasi yang faktual, dan pengetahuan prosedural mempengaruhi kreativitas dengan menyediakan petunjuk-petunjuk untuk strategi berpikir. Kemampuan metakognisi seseorang dapat mengontrol kemampuan kognitifnya melalui pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional dan menerapkannya dengan merencanakan, memantau, dan mengevaluasi aktivitas kognitifnya sehingga mampu menghasilkan kemampuan kognitif yang baik yang pada akhirnya  berpengaruh juga pada perilaku kreatifnya.

Hasil pengujian hipotesis ketiga menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas.  Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh DeCharms dan Moeller  serta hasil penelitian Hakim (Suharnan, 2011)  bahwa motivasi berprestasi berkorelasi positif secara signifikan dengan kreativitas. Adanya korelasi positif antara motivasi berprestasi dengan kreativitas sejalan pula dengan apa yang dinyatakan oleh Sternberg (2008), bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan individu yang kreatif diantaranya adalah motivasi yang tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu. Diterimanya hipotesis ketiga juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), bahwa salah satu aspek kepribadian yang mempengaruhi kreativitas adalah motivasi, termasuk di dalamnya motivasi berprestasi. Teori investasi, yang berisi pernyataan bahwa untuk menjadi kreatif, seseorang perlu bertindak dengan mensinergikan 6 sumber yang berbeda tetapi saling terkait dan salah satu sumber adalah motivasi, termasuk motivasi berprestasi (Suharnan, 2011).  

Berdasarkan hasil penelitian tersebut kreativitas dapat dikembangkan melalui peningkatan metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama. Nilai R² sebasar 0,508 memiliki arti bahwa prosentasi sumbangan pengaruh metakognisi dan motivasi berprestasi terhadap kreativitas sebasar 50,8%.  Hal demikian berarti ada variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi yang hampir sama besarnya (49,2%) untuk pengembangan kreativitas, yaitu:  pemberdayaan kecerdasan intelektual, peningkatan kuantitas dan kualitas pengetahuan, pelatihan kemampuan berpikir divergen, pembuatan kebijakan yang memberikan toleransi pada perbedaan pendapat dan temuan-temuan baru, dan penciptaan lingkungan sosial budaya yang kondusif.

 

Kesimpulan

Kreativitas adalah salah satu kemampuan intelektual manusia yang sangat penting,  karena dengan kreativitasnya manusia mampu memecahkan berbagai masalah dan menciptakan berbagai hal seperti konsep, teori, perangkat teknologi, dst. yang sangat diperlukan bagi kehidupan. Substansi kreativitas menurut para ahli adalah proses berpikir, menemukan sesuatu yang baru dan orisinil, serta bermanfaat. 

Kreativitas peserta didik harus dikembangkan mengingat besarnya peranan kreativitas dalam kehidupan.  Pengembangan kreativitas mengacu pada fakta bahwa kreativitas berhubungan dengan beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.   Dua faktor internal yang menarik untuk diteliti dalam hubungannya dengan kreativitas adalah metakognisi dan motivasi berprestasi. Bahwa sinergi kedua faktor tersebut dapat mendorong timbulnya tindakan-tindakan kreatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis penelitian pertama diterima, yaitu kreativitas seseorang berhubungan dengan metakognisi dan motivasi berprestasi. Keberhasilan proses-proses kreatif, tidak akan terlepas dari kemampuan mensinergikan berbagi sumber yang saling berhubungan diantaranya kemampuan kognitif, dan salah satu kemampuan kognitif  tingkat tinggi yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya karya-karya kreatif adalah metakognisi serta motivasi, termasuk di dalamnya motivasi berprestasi. Jika kedua kemampuan tersebut diberdayakan maka memunculkan berbagai tindakan kreatif. 

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hipotesis kedua diterima, yang artinya metakognisi berhubungan dengan kreativitas. Keberhasilan proses-proses kreatif, membutuhkan keterlibatan kemampuan kognitif.  Salah satu kemampuan kognitif yang memberikan kontribusi pada kreativitas adalah metakognisi. Dengan pengetahuan deklaratif , tersedia berbagai informasi yang dibutuhkan untuk tindakan-tindakan kreatif dan dengan pengetahuan presedural yang dimiliki,  seseorang memiliki pedoman tentang langkah-langkah yang perlku dilakukan untuk bisa bertindak secara kreatif.

Hipotesis ketiga penelitian ini juga diterima. Pendapat bahwa kreativitas seseorang dipengaruhi pula oleh motivasinya untuk berprestasi sesuai dengan hasil penelitian ini. Ada teori yang menyatakan bahwa kreativitas seseorang dipengaruhi oleh motivasi berprestasi yang tinggi untuk menghasilkan sesuatu, yang ditandai dengan adanya kayakinan bahwa  dirinya mampu melakukan suatu tugas atau pekerjaan tertentu,  adanya dorongan yang kuat untuk berhasil mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan  adanya usaha mencari jalan yang efektif untuk berhasil menyelesaikan tugasnya.

 

Saran-saran

Berdasarkan apa yang dipaparkan dalam perumusan masalah dan hasil penelitian, berikut dikemukakan saran bagi beberapa pihak.

  1. Bagi para staf dosen khususnya untuk prodi Bimbingan  Bimbingan Konseling UNP Kediri
    1. Hendaknya peran dosen sebagai motivator diintensifkan terutama dalam memotivasi mahasiswa untuk menjadi pribadi-pribadi yang memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi.
    2. Hendaknya  pembelajaran yang menekankan aktivitas dan kreativitas mahasiswa yang selama ini sudah dilakukan diintensifkan.   Model-model pembelajaran konstruktivistik seperti pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran inquiry and discovery,  dan pembelajaran kooperatif merupakan pilihan yang tepat bagi upaya pengembangan kreativitas mahasiswa.
    3. Hendaknya menciptakan suasana belajar dan pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan kreativitas dengan cara mengembangkan  tolerasi pada perbedaan pendapat, prosedur-prosedur dan produk-produk yang tidak lazim pada saat pelaksanaan pembelajaran di kelas.

 

  1. Bagi institusi, baik di tingkat program studi, fakultas, maupun universitas
    1. Hendaknya menciptakan situasi yang kompetitif, situasi mahasiswa  berlomba untuk menjadi yang terbaik, dengan memberikan insentif berupa beasiswa yang memperoleh prestasi tinggi baik dalam bidang akademik/kurikuler maupun ekstrakulikuler.
    2. Pengembangan kreativitas mahasiswa dalam berbagai bidang yang selama ini sudah dilakukan ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif..

 

Daftar Pustaka

Agung, Wahyu. (2010) Panduan SPSS 17.0 Untuk Mengolah Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Garailmu.

Agusyana, Yus dan Islandscript. (2011) Olah Data Skripsi dan Penelitian dengan SPSS 19. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Azwar, Saifuddin. (2007) Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Chaturvedi, M. (2009) School Environment, Acievement Motivation, and Academic Achievement. Indian Journal of Social Science Researches, Vol. 6, No, 2, October 2009, pp. 29 – 37.

Coutinho, Savia A. (2006) The Relationship between the Need for Cognition, Metacognition, and Intellectual Task Perfomance. Educational Research and Review Vo. 1 (5) pp. 162- 164, Agustus 2006.

________________  (2007) The Relationship between Goals, Metacognition, and Academic Success.  Educate – Vol.7, No.1, 2007, pp. 39-47

Directorate-General for Education and Culture. (2009) The Impact of Culture on Creativity. Berlin: KEA.

European University Association. (2007) Creativity in Higher Education: Report on the UEA Creativity Project 2006 – 2007. Brussels: EUA.

Fasko, Daniel Jr. (2000) Education and Creativity. Creativity Research Journal 2000 – 2001, Vol. 13, Nos. 3 & 4.

Garliah, Lili dan Nasution, Fatma Kartika Sari. (2005) Peran Pola Asuh Orangtua dalam Motivasi Berprestasi. Psikologia, Volume 1, Nomor 1, Juni 2005.

Klose, Laurie McGarry. (2008) Understanding and Fostering Achievement Motivation. Principial Leadership, December 2009, 12.

Lee, Chwee Beng dan Bergin, David. (2009) Children’s Use of Metacognition in Solving Everyday Problems: An Initila Study from an Asian Context. The Australian Educational Researcher, Volume 36, Number 3, December 2006, 89 – 103.

Livingstone, Jennifer A. (1997) “Metacognition: An Overview”.  Tersedia pada: http: //www. gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html.)

Matlin, Margaret W. (1998) Cognition.  Orlando: Harcourt Brace & Company.

Mulbar, Usman. (2008) “Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika”.Tersedia pada: http//www.usmanmulbar.files. wordpress. com. Diakses pada 8 Mei 2008.

Munandar, Utami. (2009) Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Naiman, Linda. (2010) What is Creativity. Tersedia pada: http://www.creativityatwork. com/articlesContent/whatis.htm. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2011.

Ormrod, Jeane Ellis. (2009) Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. (Penterjemah: Wahyu Indianti dkk.). Jakarta: Erlangga.

Papaleontiou-Louca, Eleonora. (2008) Metacognition and Theory of Mind. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing.

Priyatno, Dwi. (2009) Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: MediaKom.

Rahman, Fazalur dan Masrur, Rehana. (2011) Is Metacognition a Single  Variable? International Journal of Business and Social Science Volume 2 No. 5 / Special Issue – March 2011.

Reed, Stephen K. (2009) Kognisi: Teori dan Aplikasi. (Penterjemah: Smita Prathita S.).  Jakarta: Salemba Humnika.

Solso, Robert L. et al. (2008) Psikologi Kognitif. (Penterjemah: Mikael Rahardanto dan Kristianto Batuaji). Jakarta: Erlangga.

Sternberg, Robert J. (2006) The Nature of Creativity. Creativity Research Journal Vol. 18, No. 1, 87 – 98.

_______________  (2008) Psikologi Kognitif (Penterjemah: Yudi Santoso) Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Suharnan. (2011) Kreativitas: Teori dan Pengembangan. Laras: Surabaya.

Sukardi. (2008) Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Tuckman, Bruce W. (1999). “A Tripartite Model of Motivation for Achievement: Attitude, Drive, Strategy”. Paper Paper presented in the Symposium, Motivational Factors Affecting Student Achievement – Current Perspectives. Annual Meeting of the American Psychological Association, Boston. Retrieved February 17, 2005. Tersedia pada:  http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99paper.htm. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2011.

Woolfolk, Anita. (2009) Educational Psychology: Active Learning Edition. (Penterjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto).  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zenzen, Tohmas G. (2002) Achievement Motivation. Tesis (Tidak dipublikasikan).

Juni 14, 2012 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

CERITA BERTEMA MORAL DAN EMPATI REMAJA AWAL

Terbit pada Jurnal Psikologi Persona Volume 01 Nomor 01 Juni 2012

 

 

Oleh:

Muhammad Muchlish Hasyim

Muhammad Farid

Sahat Saragih

 

 

Abstract,  Experimental study examines the moral-themed stories to foster empathy on adolescence. Research subjects 205 early adolescents, 103 adolescents (56 males, 47 females) selected as the experimental group, and 102 (61 male, 41 female) were selected as the control group. Sixteen given moral-themed stories twice a week. Experiments using the One Group Post-test Design. Control is done by banning adolescence on the experimental group discuss, or lend anything to do with the course of the experiment. Reinforcement is done by discussion and question and answer, draw conclusions in the form of wisdom, and benefits in daily life; Any story, story teller lend sheets to adolescence groups of experiments to be read again at home to make it more understandable. After the eighth week end of the experiment, measurements of empathy were taken with the Davis Interpersonal Relativity Index (IRI). Experimental results showed: 1) Empathy fantasy of experimental was higher than the control group; 2) Average of empathy at all aspects no differ between the experimental and the control group; 3) Average of perspective taking empathy on girls was higher than boys; 4) Average on all aspects of empathy did not differ between boys and girls. Themed story can only cultivate the moral character of fantasy empathy. Moral themed stories will make adolescent lost in fictional stories and imagine themselves in the same situation as fictional characters. The findings are discussed in terms of their implications for early adolescent in context.

 

Key words: Themed strory moral, emphaty, early adolescence

 

Intisari, Studi eksperimental mengkaji cerita bertema moral sebagai metode pendidikan karakter untuk menumbuhkankembangkan empati remaja awal. Subjek penelitian 205 remaja awal, 103 remaja (56 laki-laki, 47 perempuan) dipilih sebagai kelompok eksperimen, dan 102 (61 laki-laki, 41 perempuan) dipilih sebagai kelompok control. Enam belas cerita bertema moral diberikan seminggu dua kali. Eksperimen menggunakan One Group Post-test Design. Kontrol dilakukan dengan cara melarang remaja kelompok eksperimen berdiskusi, atau meminjamkan segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya eksperimen. Penguatan dilakukan dengan cara pembahasan dan Tanya jawab, menarik kesimpulan berupa hikmah, dan manfaat dalam kehidupan sehari-hari; Setiap cerita, pencerita meminjamkan lembar cerita kepada remaja kelompok eksperimen untuk dibaca kembali di rumah agar lebih dipahami. Setelah minggu ke 8 akhir kegiatan eksperimen, dilakukan pengukuran empati dengan Davis Interpersonal Relativity Index (IRI). Hasil eksperimen menunjukkan: 1) Rerata aspek empati fantasi secara signifikan berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok control (p = 0,018 < 0,05). Empati fantasi kelompok eksperimen (21,34) lebih tinggi dari kelompok control (20,12); 2) Rerata aspek empati pengambilan perspektif (20,82 (eksperimen) 20,24 (control)), keprihatinan empatik (20,94 (eksperimen) 21,15 (control)), dan distress pribadi (19,19 (eksperimen) 19,18 (control)) tidak berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok control (p > 0,05); 3) Rerata empati pada semua aspek tidak berbeda antara kelompok eksperimen (82,29) dan kelompok control (80,68), p > 0,05; 4) rerata empati pengambilan perspektif remaja perempuan (21,28) secara signifikan (p=0,011 < 0,05) lebih tinggi dari remaja laki-laki (19,96); 5) rerata aspek empati fantasi (20,68 (laki-laki) 20,80 (perempuan)), kepribadian empatik (20,89 (laki-laki) 21,25 (perempuan)), dan distress pribadi (19,05 (laki-laki) 19,36 (perempuan)) tidak berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan (p>0,05); 6) Rerata empati pada semua aspek tidak berbeda antara remaja laki-laki (80,58) dan perempuan (82,69), p > 0,05. Cerita bertema moral hanya dapat menumbuhkan karakter empati fantasi. Cerita bertema moral akan membuat remaja hanyut dalam cerita-cerita fiksi dan membayangkan diri dalam situasi yang sama sebagai karakter fiksi.

Kata kunci: Cerita bertema moral, empati, remaja awal.

 

 

Masyarakat cenderung mengalami penurunan empati dalam interaksi sosial antar individu.  Anak-anak yang tidak empati pelit kepada temannya, tiba masa remaja suka berkelahi. Remaja yang tidak empati perilakunya brutal terhadap orang lain yang dianggap berbeda atau tidak disukainya, kelak dewasa tidak ambil peduli terhadap kesusahan orang lain, bila sudah bekerja suka korupsi (Sejiwa, 2008), bila menjadi politikus tidak menerapkan politik empati (Yunarto, 2010).

Sikap keseharian akan mempermudah membudayakan sikap peduli dalam lingkungan sekitar. Bukan tidak mungkin suatu saat budaya kepedulian menular kepada lingkup yang lebih besar (Ho, 2010). Kekuatan empati dapat membangun karakter diri yang lebih mencair dan menyatu ke dalam semua peluang dan tantangan kehidupan (Djajendra, 2010). Mumpung belum terlanjur, remaja perlu dicekoki dan dirasuki empati. Cerita bertema moral  diharapkan dapat dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan empati remaja.

Wawasan yang luas dan perilaku yang menghormati perbedaan akan menjadi modal yang kuat untuk memperkuat perasaan empati (Djajendra, 2010). Cerita memiliki kekuatan dalam membangun imajinasi, menanamkan (transformasi) nilai-nilai dan etika, bahkan menanamkan empati dan rasa kesetiakawanan pada sesama (Sarumpaet, 1996). Cerita bertema moral diharapkan akan menumbuhkan dan memelihara empati. Tumbuh kembang empati akan menjadikan remaja bergaul dengan baik, mampu berteman, dan memiliki inisiatif membantu orang lain yang berada dalam kesulitan (Risman dalam Ummi, 2001).

 

Empati

Empati adalah keadaan psikologis yang mendalam, seseorang menempatkan pikiran dan perasaan diri sendiri ke dalam pikiran dan perasaan orang lain yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal. Empati terdiri dari pengambilan perspektif, fantasi, keprihatinan empatik, dan personal distres. Pengambilan perspektif adalah kecenderungan untuk mengambil sudut pandang orang lain. Fantasi adalah kecenderungan hanyut dalam cerita-cerita fiksi dan membayangkan diri dalam situasi yang sama sebagai karakter fiksi. Keprihatinan empatikadalah tindakan simpati dan kepedulian terhadap orang lain yang mengalami kesulitan. Distres pribadi adalah respon emosional yang berfokus pada diri terhadap keadaan atau kondisi orang lain, seperti ketidaknyamanan atau kecemasan (Davis, 1980).

 

Cerita bertema moral

Cerita bertema moral adalah tuturan yang membentangkan peristiwa berdasarkan pokok pikiran moral, yaitu moral dan kelakuan baik dalam menjalani kehidupan sebagai suatu pesan ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.  

Eksperimen menggunakan 16 cerita bertema moral terbaik dari 2 buku cerita moral populer versi penjualan terbanyak. Masing-masing buku terdiri dari 100 cerita. Pada penilaian pertama terpilih 50 cerita, pada penilaian ke dua terpilih 40 cerita, pada penilaian ke tiga terpilih 30 cerita, pada penilaian ke empat terpilih 20 cerita, pada penilaian terakhir terpilih 16 cerita.

 

Cerita bertema moral dan empati

Orang yang mengikuti cerita akan berimajinasi dalam pikirannya untuk selalu melakukan sikap empati kepada orang lain (Muhtadi, 1998). Orang yang mempunyai rasa empati yang sudah cukup tinggi, biasanya akan ikut terhanyut dalam cerita, dan tak jarang ikut sedih atau menangis. Pada saat suasana seperti ini, terjadilah tanggapan dalam diri tentang konsep orang baik dan orang yang tidak baik atau jahat, serta konsep perlunya sikap empati.

Kegiatan bercerita akan memberikan dua hal yang amat dalam kehidupan siswa, yaitu akar dan sayap. Memberikan akar, artinya memberikan seperangkat nilai yang akan menolong siswa  menghadapi kehidupan, membedakan mana yang abadi dan mana yang sekedar mode. Memberikan sayap, artinya menolong siswa menemukan kebebasan sejati, kebebasan untuk merumuskan harapan masa depan dan kesanggupan untuk rnemperjuangkannya

Ada suatu proses belajar dimana dalam diri remaja akan terbentuk sikap dan perilaku moral yang hendak diajarkan. Teori belajar sosial atau teori kognsi sosial menekankan pada sisi kogitif seseorang. Hal ini memberi kesan bahwa pikiran (mind) merupakan kekuatan (daya) aktif yang membentuk realitas sesorang, mengkodekan informasi secara selektif, melakukan suatu perilaku berdasar pada nilai-nilai dan harapan-harapan, serta menentukan struktur atas perilakunya sendiri (Bandura dalam http://id.wikipedia.org /wiki/Teori_Kognitif_Sosial).

 

Hipotesis

Cerita bertema moral dapat menumbuhkan dan mengembangkan empati remaja awal.

 

Subjek

Subjek penelitian adalah 205 remaja, terdiri dari 103 remaja laki-laki dan 102 perempuan, remaja awal (usia 12-13 tahun)

 

Alat ukur

Penelitian ini menggunakan 28 aitem Davis’ Interpersenal Reactivity Index (IRI) (Davis, 1980; Navarro, 2004) untuk mengukur empat aspek empati yaitu pengambilan perspektif, fantasi, keprihatinan empatik, dan distres pribadi. IRI diberikan dalam skala 4-poin, kontinum sesuai skor 4, hampir sesuai skor 3, cukup sesuai skor 2, kurang sesuai skor 1, tidak sesuai skor 0.

IRI versi pertama terdiri dari 50 item. Beberapa item diadopsi dari Mehrabian & Epstein Emotional Emphaty Scale dan Stotland’s Fantasy-Empathy Scale. Item-item baru digunakan untuk mengukur aspek kognitif empati dan berbagai macam respon emosional. Analisis faktor melibatkan 201 responden laki-laki dan 251 responden perempuan. Item-item diberikan dalam 5-poin dari 0 sampai 4. Hasil analisis diperoleh empat pengelompokan, yaitu kelompok item fantasi, pengambilan perspektif, keprihatinan empatik, dan personal distres. Walaupun empat faktor sangat kuat terdapat pada laki-laki dan perempuan, beberapa item dalam faktor kurang dapat diinterpretasi.

IRI versi ke dua terdiri dari 45 item, terdiri dari item-item yang diambil secara utuh dari versi pertama, item-item versi pertama yang diadaptasi, dan item-item baru yang ditulis untuk memenuhi salah satu dari empat faktor empati. Analisis faktor IRI versi kedua melibatkan 221 laki-laki dan 206 perempuan yang diambil dari kelas mahasiswa fakultas psikologi.

Analisis faktor terpisah dilakukan pada data yang dikumpulkan dari responden laki-laki dan perempuan. Analisis untuk mengetahui apakah ada atau tidak struktur faktor yang disarankan oleh analisis sebelumnya akan muncul dari respon terhadap versi kedua. Faktor-faktor yang muncul dari analisis hampir identik dalam kedua jenis kelamin, yaitu fantasi, pengambilan perspektif, keprihatinan empatik, dan item personal distres.  

Seleksi sub skala empati dilakukan untuk menghasilkan instrumen terkuat yang dapat diandalkan. Pemilihan item pada keempat subskala didasari dua pertimbangan, yaitu; 1) Item diperiksa untuk memastikan bobot item-item yang paling banyak dimuat pada responden laki-laki dan perempuan; 2) Item-item yang memiliki bobot tertinggi pada responden laki-laki dan perempuan dipilih untuk dimasukkan dalam sub skala.

Hasil pemeriksaan dan pemilihan 45 item IRI versi ke dua menghasilkan 28 item, terdiri dari 7 item sub skala fantasi (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,78; perempuan 0,79), 7 item sub skala pengambilan perspektif (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,71; perempuan 0,75), 7 item subskala keprihatinan empatik (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,68; perempuan 0,73), dan 7 item sub skala personal distres (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,77; perempuan 0,75).

 

Desain eksperimen

Cerita bertema moral diberikan dalam kondisi terkontrol untuk mengatahui pengaruhnya terhadap empati. Desain eksperimen yang digunakan adalah One Group Post-test Design. Menggunakan satu variabel tergantung, tidak dilakukan pengukuran terlebih dahulu, dan menggunakan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang diberikan cerita bertema moral dan kelompok kontrol non perlakuan.

 

Teknik analisis

One Way Anova digunakan untuk menguji perbedaan empati laki-laki dan perempuan, dan perbedaan empati kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Independent t-test digunakan untuk uji beda empati dan aspek-aspek empati laki-laki dan perempuan dan empati dan aspek-aspek empati kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

 

Uji hipotesis

Rerata aspek empati pengambilan perspektif secara signifikan berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan. Empati pengambilan perspektif pada remaja perempuan lebih tinggi dari remaja laki-laki. Rerata aspek empati fantasi, keprihatinan empatik, dan distres pribadi tidak berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan. Rerata empati tidak berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan.

 

 

Rerata empati laki-laki dan perempuan

Aspek-aspek

Rerata

F

p

Laki-laki (N 117)

Perempuan (N 88)

Pengambilan perspektif

19,96

21,28

6,559

0,011*

Fantasi

20,68

20,80

0,045

0,832

Keprihatinan empatik

20,89

21,25

0,620

0,432

Distres pribadi

19,05

19,36

0,346

0,557

Empati

80,58

82,69

1,964

0,163

* p < 0,05 signifikan

 

 

Rerata aspek empati fantasi secara signifikan berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Empati fantasi kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok kontrol. Rerata aspek empati pengambilan perspektif, keprihatinan empatik, dan distres pribadi tidak berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Rerata empati tidak berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

 

 

Rerata empati kelompok eksperimen dan kontrol

Aspek-aspek

Rerata

F

p

Eksperimen (N 103)

Kontrol (N 102)

Pengambilan perspektif

20,82

20,24

1,247

0,256

Fantasi

21,34

20,12

5,680

0,018*

Keprihatinan empatik

20,94

21,15

0,204

0,652

Distres pribadi

19,19

19,18

0,001

0,973

Empati

82,29

80,68

1,167

0,281

              * p < 0,05 signifikan

 

 

Hipotesis cerita bertema moral berpengaruh positif terhadap empati remaja awal, ditolak. Cerita bertema moral hanya dapat menumbuhkan empati fantasi. Cerita bertema moral akan membuat remaja hanyut dalam cerita-cerita fiksi dan membayangkan diri dalam situasi yang sama sebagai karakter fiksi.

 

Pembahasan

Kandungan empati dalam 16 cerita bertema moral yang disampaikan dalam waktu dua bulan belum menghasilkan proses internalisasi nilai-nilai empati. Skala yang digunakan (IRI) tidak memperhitungkan perbedaan kompleksitas kognitif dalam hirarkhi nilai-nilai subjek dan tidak membedakan antara perkembangan nilai yang matang dan tidak matang (mature and immature).

Nilai tampak sebagai nilai hanya pada tahap ke tiga dan keempat dalam teori perkembangan kognitif Piaget’s. Pada tahap pertama {pra operasional (2 s/d 7 tahun)}, karakteristiknya adalah bukan norma – bukan nilai, dan tahap kedua {operasional konkrit (7 s/d 11 tahun)}, karakteristiknya adalah norma bukan nilai. Pada tahap ketiga {generalisasi konkrit (> 12 tahun)}, karakteristiknya adalah norma sebagai nilai, dan pada tahap keempat (operasional formal), karakteristiknya adalah nilai-nilai terinternalisasi sebagai norma (Keats, 1986). Nilai-nilai empati yang terukur dengan Davis’ Interpersonal Relativity Index (IRI) ditujukan pada remaja awal usia 12-13 tahun dalam perkembangan kognitif tahap ke tiga, yaitu generalisasi konkrit dengan karakteristik norma sebagai nilai. Nilai-nilai empati belum terinternalisasi sebagai norma yang berguna sebagai pedoman perilaku empatis yang termasuk pada perkembangan kognitif yang lebih matang (tahap operasional formal).

Eksperimen cerita bertema moral hanya meningkatkan empati fantasi. Temuan penelitian kemungkinan karena IRI versi asli didesain untuk mengukur empati remaja akhir berstatus mahasiswa. Modifikasi aitem-aitem IRI tidak dilakukan dalam penelitian dengan subjek remaja awal. Perbedaan subjek pada desain IRI versi assli dan penelitian remaja awal menjadi sumber bias yang memungkinkan eksperimen hanya mampu meningkatkan empati fantasi dan tidak mempertinggi empati pengambilan perspektif, empati keprihatinan empatik, serta empati distres pribadi.

Experimen cerita bertema moral disampaikan guru Bahasa Indonesia kemungkinan menjadi sumber bias. Remaja awal kemungkinan memiliki tanggapan cerita yang disampaikan guru adalah kegiatan yang terkait dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Remaja awal kemungkinan menjadi kurang fokus pada substansi empati di dalam unsur-unsur dan tokoh-tokoh cerita. Remaja awal kemungkinan lebih fokus pada isi ceritera sebagai bagian dari materi mata pelajaran Bahasa Indonesia yang harus diingat dan dihafal, bukan bagaimana pengaruh substansi isi ceritera empati akan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

Karakter adalah sifat khas, kualitas, dan kekuatan moral, atau kepribadian. Karakter terbentuk dari hasil internalisasi nilai-nilai kebajikan (vittue) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Nilai terbentuk melalui pendidikan, pengalaman, cobaan hidup, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, kemudian terinternalisasi. Nilai-nilai menjadi intrinsik dan melandasi sikap dan perilaku yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan yang terjaga dan terpelihara, dan akhirnya menjadi karakter. Pendidikan karakter merupakan usaha sadar dan terencana dalam menanamkan nilai-nilai sehingga terinternalisasi dalam diri peserta didik yang mendorong dan mewujud dalam sikap dan perilaku yang baik. Pendidikan karakter berusaha menanamkan dan menebarkan kebajikan.

Temuan penelitian memberi wawasan bahwa pendidikan karakter bukan terletak pada materi pembelajaran, melainkan pada aktivitas yang melekat, mengiringi, dan menyertainya (suasana yang mewarnai, tercermin dan melingkupi proses pembelajaran pembiasaan sikap dan perilaku yang baik) pendidikan karakter tidak berbasis pada materi, tetapi pada kegiatan. Tujuan pendidikan karakter empati adalah membantu remaja mengembangkan potensi kebajikan, sehingga terwujud dalam kebisaan baik (hati, pikiran, perkataan, sikap, dan perbuatan).

 

Daftar pustaka

Bandura dalam http://id.wikipedia.org /wiki/Teori_Kognitif_Sosial

Davis, M. H. (1980). A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy. JSAS Catalog of Selected Documents in Psychology, 10, 85.

Djajendra (2010). Empati dapat mengurangi konflik. http://kecerdasan motivasi. wordpress.com/ 2010/09/11/ empati-dapat-mengurangi-konflik/. Download 14-9-2011.

Ho, A. (2010). Ciptakan kehidupan ideal dengan kepedulian. http://www.andriewongso. com/artikel/viewarticleprint.php?idartikel=3187. Download 14-9-2011.

Keat, D.M. (1986). Using the Cros-Cultural Method to Study the Development of Values. Australian Journal of Psychology, 30, 3, 297-308.

Muhtadi, A. (2008). Pengembangan empati anak sebagai dasar pendidikan moral. Naskah Publikasi. http://staff.uny.ac.id/sitesampaiefault/files/132280878/ 2.%20Pengembangan%20Empati%20Anak%20sebagai%20dasar%20pendidikan%20moral.pdf. Download 1-9-2011.

Navarro, M.D.F. (2009). Davis’ Interpersonal Reactivity Index (IRI). Manuscript no published. Universidad de Valencia. Spain. http://www.uv.es/~friasnav/unidinves.html

Sarumpaet, R. K. (1996). Bacaan anak-anak: suatu penyelidikan pendahuluan ke dalam hakekat, sifat, dan corak bacaan anak-anak serta minat anak pada bacaannya. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sejiwa/ Semai Jiwa Amini. (2008). Bullying, mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan. Jakarta: Grasindo.

Ummi. (2001). Mengasah Empati Pada Anak. Jakarta: Kamus Bina Tadzkia 7, 13, 64-65.

Yunarto, Y. (2010). Krisis empati wakil rakyat. http://matanews.com/2010/10/30/krisis-empati-wakil-rakyat/. Download 14-9-2011.

Juni 14, 2012 Posted by | Uncategorized | 1 Komentar

POLA ASUH ORANGTUA DEMOKRATIS, EFIKASI-DIRI DAN KREATIVITAS REMAJA

Terbit pada Jurnal Psikologi Persona Volume 01 Nomor 01 Juni 2012

 

Oleh:

Kasiati

M. As’ad Djalali

Diah Sofiah

 

 

Abstract, Research for studies both simultaneous or partial correlation of democratic parenting and self-efficacy to creativity. Subject are 123 mid adolescence (60 boys  and 63 girls), ages from 16 to 18 years old. Data taken from scales of C.O.R.E for creativity, P.A.O.D for democatic parenting and ED-G for self-efficacy. Result of simultaneous test is R =  0,384, F =  10,349, p = 0,000 (p < 0,05). Democratic parenting and self-efficacy simultaneously and significant would have predicting creativity. R2 =  0,147 refer that 14,7% varians proportion on creativity would have explained from democratic parenting and self-effiacy, other for 85,3% could explained from other factors that not analyzed. Constant of 146,671 is score of creativity if no democratic parenting and self-efficacy. Result of partial test of democratic parenting t = 0,420, p = 0,675 (p > 0,05). Democratic parenting partially wasn’t correlated with creativity. Result of partial test of self-efficacy t = 4,534, p = 0,000 (p < 0,05). Self-efficacy partially was significantly positive correlated with creativity. The findings are discussed in terms of their implications for mid adolescent context.

 

Key words: creativity, democratic parenting, self-efficacy

 

Intisari, Penelitian mengkaji hubungan simultan dan parsial pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri dengan kreativitas. Subjek penelitian 123 remaja tengah (60 siswa laki-laki dan 63 siswa perempuan), usia 16 sampai dengan 18 tahun, sekolah SMA Negeri 7 Kediri kelas XII. Data kreativitas diperoleh dari skala C.O.R.E. Data pola asuh orangtua demokratis diperoleh dari skala P.A.O.D. Data efikasi-diri diperoleh dari skala ED-G. Hasil uji simultan R = 0,384, F = 10,349, p = 0,000 (p < 0,01). Variabel pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri secara simultan dan sangat signifikan memprediksi kreativitas. R2 = 0,147 menunjukkan 14,7% proporsi variasi kreativitas dapat dijelaskan melalui pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri, sisanya sebesar 85,3% dijelaskan faktor lain yang tidak dianalisis. Konstanta 146,671 adalah skor kreativitas jika tidak ada pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri. Hasil uji parsial pola asuh orangtua demokratis t = 0,420, p = 0,675 (p > 0,05). Variabel pola asuh orangtua demokratis secara tersendiri tidak berhubungan dengan kreativitas. Hasil uji parsial efikasi-diri t = 4,534, p = 0,000 (p < 0,01). Variabel efikasi-diri secara tersendiri berhubungan positif dan sangat signifikan dengan kreativitas.

 

Kata kunci: kreativitas, pola asuh demokratis, efikasi-diri

 

 


Orang bersikap tidak berdaya, berdiam diri, protes, menggantungkan harapan datangnya inspirasi cerdas dari orang pintar dan para pemimpin. Masalah yang dihadapi seharusnya mendorong banyak ide, gagasan, dan solusi kreatif (Rachman & Savitri, 2011). Kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara tergantung pada sumbangan kreatif berupa ide-ide, penemuan dan teknologi baru dari masyarakatnya (Heller dalam Suharnan, 2000).

Kreativitas tidak datang dengan sendirinya, namun perlu dikembangkan sejak dini (Icai , 2011). Potensi kreatif remaja akan aktual dalam bentuk perilaku, karena adanya rasa aman dan bebas (Hurlock dalam Munandar, 1999). Kebutuhan rasa aman yang diperlukan dalam tumbuh kembang kreativitas remaja akan terpenuhi dalam lingkungan keluarga berpola asuh demokratis (Mappiare, 1982). Dibanding keluarga biasa, dalam keluarga remaja kreatif tidak banyak aturan yang diberlakukan (Dacey dalam Munandar, 1999).

Efikasi-diri tinggi diteorisasikan memfasilitasi proses perubahan perilaku melalui pembentukan niat dan menterjemahkan niat pada perilaku (Bandura  dalam Scoltz dkk, 2007). Efikasi-diri didokumentasikan berpengaruh terhadap pendidikan, pelatihan, pengambilan keputusan, dan kreativitas (Arnold & O’Connor, 2006). Individu menghadapi faktor penghambat dengan alternatif berpikir kreatif untuk mewujudkan niat yang telah direncanakan. Penghalang tidak dapat diatasi dengan hanya sekali berfikir kreatif, individu membutuhkan efikasi-diri agar tetap merasa kompeten dan efektif menghadapi berbagai situasi yang penuh dengan tekanan (Schwarzer dkk, 1997). Bila alternatif-alternatif yang ditempuh tidak menyelesaikan masalah, efikasi-diri mendorong individu bergerak ke arah terobosan pemikiran kreatif yang tidak umum dan tidak lazim dalam menghadapi penyelesaian masalah (Guilford dalam Munandar, 1999).

 

Kreativitas

Kreativitas adalah kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan, berubah dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya, dari satu cara berpikir ke cara lainnya dan menyediakan gagasan atau penyelesaian masalah yang tidak jelas dan tidak umum. Proses berpikir kreatif melibatkan Curiousity (mempertanyakan, eksperimentasi, eksplorasi, ekspedisi); Opennes to experiences (mencari informasi dan pengalaman, berfantasi, pengalaman positif dan negatif, menghargai karya seni-budaya, dan menerima pendapat orang lain); Risk tolerance (kesediaan mengambil resiko material, fisik, psikis dan sosial, dan; Energy (penggunaan energi fisik dan mental) (Suharnan, 2002).

 

Pola asuh orangtua demokratis

Pola asuh orangtua demokratis adalah penerapan demokrasi dalam pelatihan anak. Orangtua meminta remaja berpartisipasi dalam membuat keputusan tentang keluarga dan nasibnya sendiri; memberi penjelasan mengapa harus melakukan sesuatu atau mengapa tidak diizinkan melakukan sesuatu; mendorong remaja berpartisipasi dalam menciptakan peraturan keluarga dan konsekuensinya bagi dirinya sendiri; mendorong perilaku yang baik dengan penguatan positif (Champney; Lorr & Jenkins; Baldwin dalam Skinner dkk., 2005).

 

Efikasi-diri

Efikasi-diri menunjuk pada keyakinan individu tentang kepasitasnya untuk menggunakan kontrol peristiwa yang mempengaruhi hidupnya. Efikasi-diri umumnya difahami sebagai perilaku khusus dalam konteks lingkungan khusus. Efikasi-diri umum menunjuk pada stabilitas dan keyakinan global dalam kemampuan menghadapi tekanan secara efisien (Bandura; Maddux; Jerusalem &  Schwarzer dalam Mikkelsen & Einarsen, 2002). Efikasi-diri umum (Generalized Self-efficacy atau Global Self-efficacy) merupakan serangkaian keyakinan yang relatif bertahan lama bahwa individu dapat mengatasi masalah secara efektif dalam berbagai situasi (Oliver & Paull, 1995).

 

Pola asuh orangtua demokratis, efikasi diri dan kreativitas

Rasa aman terbentuk melalui tiga proses yang saling berhubungan, yaitu: Menerima remaja sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya; Mengusahakan suasana yang didalamnya tidak ada evaluasi eksternal, dan; Memberikan pengertian secara empatis (dapat ikut menghayati). Potensi kreatif  membutuhkan rasa aman. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang lain (Baumrind dalam Rusdijana, 2004).

Efikasi-diri memungkinkan individu memilih latar yang menantang, menjelajah lingkungan atau menciptakan lingkungan baru. Rasa kompeten dapat dianggap sebagai penguasaan pengalaman, pengalaman vikarius, persuai verbal, atau umpan balik fisiologis (Schwarzer dkk, 1997).

Efikasi-diri penting dalam tiga fase operasi regulasi-diri, yaitu pemikiran ke depan (sebuah latar tahap mengambil tindakan), kinerja (proses yang mempengaruhi perhatian dan tindakan), dan refleksi diri (upaya untuk menanggapi) (Elias & MacDonald, 2007). Dinamika psikologis efikasi-diri dalam berbagai latar akan mendorong individu untuk berfikir kreatif, memupuk rasa ingin tahu, membuka diri terhadap pengalaman, toleran terhadap resiko, dan menggunakan energi yang dimiliki. Efikasi-diri berkaitan dengan diri dan komponen penting sistem diri. Diri kreatif akan menghasilkan gagasan-gagasan orisinil, baru, berguna, efektif, dan otentik.

 

Hipotesis

  1. Pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri secara simultan berhubungan positif dengan kreativitas.
  2. Pola asuh orangtua demokratis berhubungan positif dengan kreativitas.
  3. Efikasi-diri berhubungan positif dengan kreativitas.

 

Subjek

Subjek penelitian adalah 123 remaja tengah (62 laki-laki dan 61 perempuan) usia 16 sampai dengan 18 tahun.

 

Alat ukur

Skala C.O.R.E (Curiosity, Opennes to Experiences, Risk Tolerance dan Energy) dari Suharnan (2002) digunakan untuk mengukur kreativitas. Corrected-Item-Total-Correlation 80 aitem Skala C.O.R.E adalah 0,73 sampai dengan 0,86, reliabilitas Alpha = 0,93. Skala terdiri dari 5-poin, sangat setuju skor 4, setuju skor 3, kurang setuju skor 2, tidak setuju skor 1 dan sangat tidak setuju skor 0.

Pola asuh orangtua demokratis diukur dengan skala P.A.O.D. Skala terdiri dari 44 aitem yang mengurai aspek-aspek dari Champney; Lorr dan Jenkins; Baldwin (dalam Skinner dkk., 2005), yaitu: Memberi pilihan; Memberi penjelasan; Pelibatan membuat aturan berikut akibatnya, dan; Memperkuat perilaku yang baik. Corrected-Item-Total-Correlation 0,253 s/d 0,778, reliabilitas Alpha = 0,749. Contoh aitem favourabel, “Orangtua menjelaskan cara yang benar ketika saya melakukan kesalahan.” Skala terdiri dari 5-poin, sangat setuju skor 4, setuju skor 3, tidak berpendapat skor 2, tidak setuju skor 1 dan sangat tidak setuju skor 0.

Efikasi-diri diukur skala Efikasi-Diri Global (ED-G) dari Jerusalem dan Schwarzer (dalam Schwarzer dkk., 1997) versi Bahasa Inggris yang diadaptasi dalam Bahasa Indonesia. Skala terdiri dari 4-poin, sama sekali tidak benar skor 0, agak benar skor 1, hampir benar skor 2 dan sepenuhnya benar skor 3. Bobot faktor 10-aitem skala efikasi-diri versi bahasa Inggris adalah 0,40 sampai dengan 0,73.

 

Hasil

Hasil uji simultan R =  0,384, F =  10,349, p = 0,000 (p < 0,01). Variabel pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri secara simultan dan sangat signifikan berhubungan dengan kreativitas. R2 = 0,147 menunjukkan 14,7% proporsi variasi kreativitas dapat dijelaskan melalui pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri, sisanya sebesar 85,3% dijelaskan faktor lain yang tidak dianalisis. Hipotesis pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri secara simultan berhubungan positif dengan kreativitas, diterima.

Hasil uji parsial pola asuh orangtua demokratis r parsial = 0,038, p = 0,675 (p > 0,05). Variabel pola asuh orangtua demokratis secara tersendiri tidak berhubungan dengan kreativitas. Hipotesis pola asuh orangtua demokratis berhubungan positif dengan kreativitas, ditolak.

Hasil uji parsial efikasi-diri r parsial = 0,382, p = 0,000 (p < 0,01). Variabel efikasi-diri secara tersendiri berhubungan positif dan sangat signifikan dengan kreativitas. Hipotesis efikasi-diri berhubungan positif dengan kreativitas, diterima.

 

Pembahasan

Pola asuh orangtua demokratis dan efikasi-diri secara simultan berlaku sebagai prediktor kreativitas. Variasi tinggi rendahnya kreativitas dapat dijelaskan melalui tinggi rendahnya penerapan pola asuh demokratis dan tinggi rendahnya efikasi-diri.

Hasil uji simultan dikoreksi dengan hasil uji parsial yang menunjukkan pola asuh orangtua demokratis tidak berhubungan dengan kreativitas. Efikasi-diri berhubungan positif dan sangat signifikan dengan kreativitas. Hubungan pola asuh orangtua demokratis dengan kreativitas dalam uji simultan dimungkinkan adanya faktor efikasi-diri. Hubungan parsial memberikan informasi tidak adanya hubungan pola asuh orangtua demokratis dengan kreativitas terjadi setelah mengontrol efikasi-diri. Hubungan efikasi-diri dengan kreativitas tetap terjadi dengan atau tanpa mengontrol pola asuh orangtua demokratis.

Kreativitas merupakan faktor internal yang tidak perlu stimulasi eksternal. Ketidakpastian akan menimbulkan rasa ingin tahu yang merrangsang sistem syaraf pusat. Rasa ingin tahu akan mengarahkan individu untuk berusaha mengurangi ketidakpastian. Teori curiosity (rasa ingin tahu) menyatakan ketika individu mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat (http://azifahituzahirah.blogspot.com/2011/06/teori-curiosity-berlyne-teori-rasa.html).

Rasa ingin tahu, keterbukaan pada pengalaman, toleransi terhadap resiko dan energi sebagai aspek-aspek kreativitas berfikir tidak membutuhkan perlakuan dalam bentuk pola asuh orangtua demokratis. Torrance (1970) menunjukkan hasil eksperimen perilaku kreatif di dalam kelas dan di tempat lain bukan semata-mata fungsi karakteristik individu, tetapi tergantung juga pada dorongan, penguatan, dan nilai perilaku seperti di lingkungan sekolah. Studi lebih lanjut mengarah pada satu prinsip yang digunakan untuk menciptakan suatu lingkungan, dimana nilai tinggi ditempatkan pada kreativitas individu dalam proses pembelajaran. Tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan temuan-temuan yang tidak kuat dan tidak selalu stabil.

Pola asuh otoriter, otoritatif dan demokratis semuanya tidak berhubungan dengan kreativitas remaja Pola asuh orangtua otoritatif dan demokratis secara empiris tidak mendorong kreativitas remaja, pola asuh otoriter tidak menghambat kreativitas remaja (Hidayati, 2011). Pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif tidak berhubungan dengan kreativitas. Tidak adanya hubungan pola asuh demokratis dengan kreativitas kemungkinan karena orangtua pada kenyataannya tidak dapat menggunakan salah satu pola asuh saja. Tetapi dilihat dari rerata empirik, kreativitas remaja dengan pola asuh permisif lebih tinggi dibandingkan dengan pola asuh demokratis dan otoriter (Kustiyah, 2006).

Tidak adanya hubungan pola asuh dengan kreativitas juga tidak konsisten. Pola asuh orangtua permisif berdasarkan hasil observasi diteorisasikan lebih berhubungan dengan kreativitas. Anak-anak yang telah dibesarkan dalam gaya pengasuhan permisif sering kreatif dan sukses akademis, dan dapat bergaul, tetapi mengalami masalah dalam lingkaran sosial karena tidak selalu mengerti atau dapat merespon dengan baik terhadap arus utama perilaku orang lain. Pola asuh permisif memungkinkan anak-anak untuk memiliki caranya sendiri (http://www.parentingstyles.co.uk/what-permissive-parenting.html).

Tidak adanya hubungan pola asuh dengan kreativitas kemungkinan karena faktor kepribadian orangtua, bukan masalah pola asuh orangtua. Orangtua dari anak-anak kreatif dilaporkan lebih banyak terlibat dalam minat dan hobi dibanding orang tua anak-anak yang tidak kreatif. Ibu anak-anak perempuan yang kreatif kurang dogmatis dibanding ibu dari anak-anak perempuan yang tidak kreatif. Kepribadian ayah lebih terkait dengan kreativitas anak laki-laki. Ayah anak laki-laki yang kreatif secara keseluruhan melukis sebuah gambar yang kurang menguntungkan bagi dirinya sendiri daripada ayah anak-anak yang tidak kreatif, dan menyatakan sifat-sifat seperti kemerdekaan, tanpa sosialisasi, kemurungan, dan lain-lain (Dewing & Taft, 1973).

Hubungan searah antara efikasi-diri global dengan kreativitas berfikir dimungkinkan karena keduanya merupakan variabel internal. Berfikir kreatif tidak didorong oleh faktor eksternal (pola asuh demokratis, otoritatif, permisif ) ataupun dibatasi pola asuh otoriter. Berfikir kreatif akan didorong oleh adanya efikasi-diri. Analisis hubungan efikasi-diri dengan kreativitas berfikir sesuai dengan teori efikasi-diri yang terbingkai dalam perspektif ideologi khusus, yaitu ideologi diri individu, bebas dari sejarah dan hambatan sosial, perjuangan dengan keyakinan bahwa individu dapat menjadi pemenang melebihi orang lain atau pencapaian orang lain. Hidup individu diarahkan oleh keyakinan efikasi pribadinya. Efikasi-diri mengacu pada keyakinan dalam kapasitas individu untuk mengorganisasi dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan (Franzblau & Moore, 2001).

 

Daftar pustaka

Arnold, J.A. & O’Connor, K.M. (2006). How Negotiator Self-Efficacy Drives Decisions to Pursue Mediation. Journal of Applied Social Psychology, 36, 11, 2649–2669.

Dewing, K., & Taft, R. (1973). Some characteristics of the parents of creative twelve-year-olds. Journal of Personality, 41, 1, 71–85.

Elias, S.M., & MacDonald, S. (2007). Using Past Performance, Proxy Efficacy, and Academic Self-Efficacy to Predict College Performance. Journal of Applied Social Psychology, 37, 11, 2518–2531.

Franzblau, S.H., & Moore, M. (2001). Socializing efficacy: a reconstruction of self-efficacy theory within the context of inequality. Journal of Community & Applied Social Psychology, 11, 2, 83–96.

Hidayati, S. (2011). Kreativitas Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Dan Tingkat Pendidikan Orang Tua Pada SMU Se-Kota Palangka Raya. Tesis. Palangkaraya: STAIN-PLK. http://stainpalangkaraya.ac.id/digilib/gdl. php?mod=browse&op=read&id=stain-plk–srihidayat-32. Unduh 30/11/2011.

http://www.parentingstyles.co.uk/what-permissive-parenting.html. What is Permissive Parenting? Unduh 12 Juni 2011.

Icai. (2010). Krisis Kreativitas. http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/19/krisis-kreativitas/. Unduh 25 Agustus 2011.

Kustiyah (2010). Pengaruh pola asuh orang tua terhadap
kreativitas  anak. Naskah Publikasi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Mappiare,  A. (1982). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Mikkelsen, E.G., & Einarsen, S. (2002). Relationships between exposure to bullying at work and psychological and psychosomatic health complaints: The role of state negative affectivity and generalized self–efficacy. Scandinavian Journal of Psychology. 43, 5, 397–405.

Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Bakat Kreatif. Jakarta: Gramedia.

Oliver, J. M., & Paull. J.C. (1995). Self-esteem and self-efficacy; perceived parenting and family climate; and depression in university students. Journal of Clinical Psychology, 51, 4, 467–481.

Rachman. L., & Savitri, S. (2011). Krisis Kreativitas. http://www.eileenrachman.com/index.php?option=com_content&task=view&id=125&Itemid=9. Unduh 25 Agustus 2011.

Rusdijana. (2004). Rasa Percaya Diri Anak Adalah Pantulan Pola Asuh Orangtuanya. http://dwpptrijenewa.isuisse.com/bulletin/?m=200604. Unduh 12 Juni 2011.

Scholz, U., Sniehotta, F.F., Schüz, B., & Oeberst, A. (2007). Dynamics in Self-Regulation: Plan Execution Self-Efficacy and Mastery of Action Plans. Journal of Applied Social Psychology, 37, 11, 2706–2725.

Schwarzer, R., Bäßler, J., Kwiatek, P., Schröder, K., & Zhang, J.X. (1997). The Assessment of Optimistic Self-beliefs: Comparison of the German, Spanish, and Chinese Versions of the General Self-efficacy Scale. Applied Psychology, 46, 1, 69–88.

Skinner, E., Johnson, S., & Snyder, T. (2005). Six Dimensions of Parenting: A Motivational Model. Parenting: Science and Practice, 5, 2, 175–235.

Suharnan. (2000). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Suharnan. (2002). Skala C.O.R.E sebagai alternatif mengukur kreativitas: suatu pendekatan kepribadian. Anima Indonesian Psychological Journal, 18, 1, 36-56.

Teori Curiosity Berlyne: teori rasa ingin tahu. http://azifahituzahirah.blogspot.com/2011/06/teori-curiosity-berlyne-teori-rasa.html. Unduh 30/11/2011

Torrance, E. P. (1970). Rewarding Creative Behavior. Experiments in Classroom Creativity. Englewood Cliffs, N. J.: Prentice-Hall, Inc.  Psychology in the Schools, 7, 1, 1970, 102–103.


 


Juni 14, 2012 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

KEMATANGAN EMOSI, KONSEP DIRI DAN KENAKALAN REMAJA

Terbit pada Jurnal Psikologi Persona Volume 01 Nomor 01 Juni 2012

 

Oleh:

Lis Binti Muawanah

Suroso

Herlan Pratikto

 

Abstract, Emotional maturity, self-concept, and juvenile delinquency examined on 120 middle adolescents. Researcher developed three research instrument of measurement, namely the scale of juvenile delinquency, the scale of emotional maturity, and the self-concept scale. Data analyzed with the multiple regression. Varians proportion of juvenile delinquency can be explained through the emotional maturity and self-concept. Emotional maturity and self-concept simultaneously predict delinquency in unidirectional and linear relationships; Emotional maturity is a psychological capacity that has the potential to allow a decline in juvenile delinquency; Self-concept is a psychological capacity that no potential to allow the reduction or increase in juvenile delinquency. Juvenile delinquency data not normally distributed and relatively high. Prediction research findings apply only to groups of adolescents with high delinquency rates. The findings are discussed in terms of their implications for middle adolescent in context.

 

Key words: maturity of emotion, self-concept, juvenile delinquency

Intisari, Kematangan emosi, konsep diri, dan kenakalan remaja dikaji dalam penelitian kuantitatif korelasional. Subjek penelitian adalah 120 remaja tengah (53 laki-laki, 67 perempuan) sekolah SMA Negeri 7 Kediri kelas XI, usia 16 sampai dengan 17 tahun. Peneliti mengembangkan tiga alat ukur penelitian, yaitu skala kenakalan remaja, skala kematangan emosi, dan skala konsep diri. Data variabel penelitian dianalisis dengan analisis regresi ganda. Hasil analisis adalah: 1) R2 = 0,132 menunjukkan 13,2% proporsi variasi kenakalan remaja dapat dijelaskan melalui kematangan emosi dan konsep diri. F = 8,908 dan p = 0,000 (p < 0,05) menunjukkan dengan signifikan variabel kematangan emosi dan konsep diri secara simultan memprediksi kenakalan remaja dalam hubungan searah dan linier; 2) Koefisien korelasi parsial dalam analisis regresi (B) kematangan emosi = -0,313 dan p = 0,001 (p < 0,05) menunjukkan hubungan kematangan emosi (setelah skor konsep diri dikontrol secara statistik) dengan kenakalan remaja adalah berlawanan arah dan linier. Prediksi tersebut signifikan (p < 0,05). Kematangan emosi merupakan kapasitas psikologis yang berpotensi untuk memungkinkan terjadinya penurunan kenakalan remaja. Skor kenakalan remaja 134,225 – (-0,313) = 133,912 adalah skor penurunan yang signifikan (bermakna); 3) Koefisien korelasi parsial dalam analisis regresi (B) konsep diri = -0,080 dan p = 0,530 (p > 0,05) menunjukkan hubungan konsep diri (setelah skor kematangan emosi dikontrol secara statistik) dengan kenakalan remaja adalah berlawanan arah dan linier. Prediksi tersebut tidak signifikan (p > 0,05). Konsep diri merupakan kapasitas psikologis yang tidak berpotensi untuk memungkinkan terjadinya penurunan atau peningkatan kenakalan remaja. Skor kenakalan remaja 134,225 – (-0,080) = 134,145 adalah skor penurunan yang tidak signifikan (tidak bermakna).

Data kenakalan remaja tidak berdistribusi normal dan tergolong tinggi. Prediksi temuan penelitian hanya berlaku pada kelompok remaja dengan tingkat kenakalan tinggi.

Kata kunci: kematangan emosi, konsep diri, kenakalan remaja

 

 

 

Kondisi remaja di Indonesia saat ini dapat digambarkan menikah usia remaja, seks pranikah dan kehamilan tidak dinginkan, aborsi 2,4 juta: 700-800 ribu adalah remaja, 17.000/tahun, 1417/bulan, 47/hari perempuan meninggal karena komplikasi kehamilan dan persalinan, HIV/AIDS: 1283 kasus, diperkirakan 52.000 terinfeksi (fenomena gunung es) (70% remaja), minuman keras dan narkoba (Kusumaredi, 2011).

Kasus kenakalan remaja yang terdata di Badan Pemasyarakatan Anak (Bapas) kelas II Kediri selalu terjadi peningkatan setiap tahun. Selama 2008 total ada 345 perkara, 2009 ada 312 perkara, dan 2010 ada 309 perkara (http://koranmontera.com/news/liputan.php? subaction=showfull&id=1303827055& archive= &start_from=&ucat=1&. Unduh 26/10/2011 Pukul 21.00).

Remaja menjadi nakal karena belum mampu melakukan kontrol emosi secara lebih tepat dan mengekspresikan emosi dengan cara-cara yang diterima masyarakat (Lugo dalam Haryono, 1996). Remaja yang memiliki konsep diri akan melakukan perbuatan positif yang diharapkan masyarakat. Konsep diri negatif akan membuat remaja cenderung melanggar peraturan dan norma-norma masyarakat, dan akhirnya terlibat dalam kenakalan remaja. (Coopersmith dalam Partosuwido, 1992).

Dinamika perubahan psikologis yang tidak terkontrol akan memungkinkan remaja terlibat kenakalan yang lebih beresiko. Kematangan emosi dan konsep diri sebagai konstruk psikologi positif yang berkembang dengan baik akan menurunkan potensi remaja terlibat kenakalan. Misalnya, perkelahian remaja secara psikologis disebabkan konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan perasaan rendah diri (Tambunan 2001).

Kemampuan mengatur emosi yang rendah dan perilaku menjalin interaksi dengan orang lain menyebabkan gangguan perilaku, memilih tindakan agresif sebagai stategi keluar dari masalah (coping) (Yanti, 2005).

 

Kenakalan remaja

Kenakalan remaja adalah perilaku remaja melanggar status, membahayakan diri sendiri, menimbulkan korban materi pada orang lain, dan perilaku menimbulkan korban fisik pada orang lain. Perilaku melanggar status merupakan perilaku dimana remaja suka melawan orang tua, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. Perilaku membahayakan diri sendiri, antara lain mengendari kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, menggunakan narkotika, menggunakan senjata, keluyuran malam, dan pelacuran. Perilaku menimbulkan korban materi, yaitu perilaku yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, misalnya: mencuri dan mencopet, merampas Perilaku menimbulkan korban fisik pada orang lain adalah perkelahian, menempeleng, menampar, melempar benda keras, mendorong sampai jatuh, menyepak, dan memukul dengan benda (Jensen dalam Sarwono, 2001).

Kematangan emosi

Kematangan emosi adalah kemampuan remaja dalam mengekspresikan emosi secara tepat dan wajar dengan pengendalian diri, memiliki kemandirian, memiliki konsekuensi diri, serta memiliki penerimaan diri yang tinggi. Pengendalian diri adalah kemampuan remaja dalam mempertahankan dorongan emosi, serta memahami emosi diri untuk diarahkan kepada tindakan-tindakan positif. Kemandirian adalah keadaan dimana remaja tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain. Rasa konsekuen adalah rasa tanggung jawab remaja dengan kesadaran untuk menjalankan keputusan, serta berani bertanggung jawab terhadap semua akibat dan keputusan yang telah diambil. Penerimaan diri adalah  kemampuan remaja untuk dapat menerima keadaan diri sendiri, baik kelemahan maupun kelebihan, menerima diri secara fisik maupun psikis dengan baik (Albin, 1996)

Konsep diri

Konsep diri adalah penilaian remaja tentang diri sendiri yang bersifat fisik, psikis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi. Konsep diri fisik adalah gambaran remaja tentang penampilannya, dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungannya dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain. Konsep diri psikis adalah gambaran remaja tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Konsep diri sosial adalah gambaran remaja tentang hubungannya dengan orang lain, dengan teman sebaya, dengan keluarga, dan lain-lain. Konsep diri emosional adalah gambaran remaja tentang emosi diri, seperti kemampuan menahan emosi, pemarah, sedih, atau riang-gembira, pendendam, pemaaf, dan lain-lain. Konsep diri aspirasi adalah gambaran remaja tentang pendapat dan gagasan, kreativitas, dan cita-cita. Konsep diri prestasi adalah gambaran remaja tentang kemajuan dan keberhasilan yang akan diraih, baik dalam masalah belajar maupun kesuksesan hidup (Hurlock, 1996).

Kematangan emosi, konsep diri dan kenakalan remaja

Kematangan diri secara emosional (maturing emotional self) menunjuk pada emosi yang menyangkut semua wilayah perilaku afektif dengan melibatkan aspek biologis, kognitif, dan sosial. Kematangan emosi merupakan proses dimana pribadi individu secara terus menerus berusaha mencapai suatu tingkatan emosi yang sehat, baik secara intrafisik maupun interpersonal. Individu yang secara emosional telah matang dapat menentukan dengan tepat kapan dan sejauhmana dirinya perlu terlibat dalam suatu masalah sosial serta dapat turut memberikan jalan keluar atau pemecahan yang diperlukan (Gorlow; Lugo dalam Haryono, 1996).

Keberadaan emosi di satu sisi dapat menjadikan orang pasif dan tidak berdaya, tidak mampu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan. Emosi di sisi lain dapat menjadi sumber energi yang membuat seseorang sanggup melakukan apa saja secara tepat tanpa terpikirkan sebelumnya. Seseorang perlu mengontrol emosinya. Kontrol emosi bukan berarti eliminasi atau penekanan emosi moral, tetapi belajar mengekspresikan emosi dengan cara-cara yang lebih dapat diterima atau disetujui oleh kelompok sosial dan pada saat yang sama tetap dapat memberikan kepuasan yang maksimum dan mengurangi gangguan ketidakseimbangan. Kenakalan remaja sebagian disebabkan oleh pencapaian emosi yang kurang matang. Remaja menjadi nakal karena belum mampu melakukan kontrol emosi secara lebih tepat dan mengekpresikan emosi dengan cara-cara yang diterima oleh masyarakat (Lugo dalam Haryono, 1996).

Konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan perilaku diri. Pengembangan konsep diri berpengaruh terhadap perilaku yang ditampilkan, sehingga bagimana orang lain memperlakukan dan apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai diri sendiri (Shavelson & Roger, 1982). Remaja dengan konsep diri positif akan mampu mengatasi dirinya, memperhatikan dunia luar dan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi sosial. Remaja dengan konsep diri negatif akan sulit mengganggap suatu keberhasilan diperoleh dari diri sendiri, tetapi karena bantuan orang lain, kebetulan, dan nasib semata dan biasanya mengalami kecemasan yang tinggi (Beane & Lipka dalam Maria, 2007). Remaja dengan konsep diri positif berciri spontan, kreatif dan orisinil, menghargai diri sendiri dan orang lain, bebas dan dapat mengantisipasi hal negatif, serta memandang diri secara utuh, disukai, diinginkan dan diterima oleh orang lain. (Combs Snygg dalam Shiffer dkk, 1997).

Para teoris kontrol sosial menyatakan bahwa yang menampakkan perilaku antisosial adalah remaja yang memiliki konsep diri rendah. Perspektif kontrol sosial menyatakan konsep diri mempengaruhi kontrol diri. Individu dengan kontrol diri rendah memiliki kekuatan ego rendah, kurang mampu menunda kepuasan (kurang sabar), kurang toleran pada frustrasi dan lebih impulsif. Perilaku sosial yang tidak tepat akan nampak ketika derajad kontrol sosial tidak cukup kuat menolak godaan yang ingin langsung dipuaskan (Hay, 2000).

Perilaku nakal remaja dapat diatasi dengan mempertinggi konsep diri. Perspektif teori peningkatan diri (self-enhancement) menyatakan individu memiliki kecenderungan untuk menambah positif konsep dirinya. Individu berusaha mencapai kepuasan pribadi dan perasaan efektif dengan cara mencari aktivitas dan umpan balik yang dapat mempertinggi konsep dirinya.

 

Hipotesis

  1. Kematangan emosi dan konsep diri berhubungan dengan kenakalan remaja.
  2. Hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja secara parsial adalah berlawanan arah.
  3. Hubungan konsep diri dengan kenakalan remaja secara parsial adalah berlawanan arah.

Subjek

Subjek penelitian adalah remaja tengah usia 16-17 tahun, 53 laki-laki dan 67 perempuan yang tinggal di Kota Kediri Jawa Timur.

Alat ukur

Kenakalan remaja diukur dengan skala kenakalan remaja. Aitem-aitem favourabel-unfavourabel mengurai aspek-aspek dari Jensen (dalam Sarwono, 2001), yaitu: Perilaku melanggar status; Perilaku membahayakan diri sendiri; Perilaku menimbulkan korban materi pada orang lain, dan; Perilaku menimbulkan korban fisik pada orang lain. Skor skala adalah 5-poin kontinum sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Uji diskriminasi aitem (N = 93) 32 item memenuhi indeks daya diskriminasi aitem, Corrected-Item-Total-Correlation 0,310 s/d 0,772, reliabilitas Alpha = 0,747. Contoh aitem, “Saya membolos sekolah dengan alasan sakit.”

Kematangan emosi diukur dengan 28 aitem yang mengurai aspek-aspek dari Albin (1996), yaitu: Pengendalian diri; Kemandirian; Rasa konsekuen; Penerimaan diri. Item-item skala disusun secara favourabel dan unfavourabel. Skor skala adalah 5-poin kontinum sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Aitem-aitem memenuhi indeks daya diskriminasi aitem dengan Corrected-Item-Total-Correlation 0,260 s/d 0,693, reliabilitas Alpha = 0,740 (N = 93). Contoh aitem, “Dalam mengemban kepercayaan saya menjalankannya dengan sungguh-sungguh.”

Aspek-aspek konsep diri dari Hurlock (1996) diurai menjadi 36 aitem untuk mengukur konsep diri fisik, psikis, sosial, emosional, aspirasi dan konsep diri prestasi. Aitem-aitem favourabel dan unfavourabel diskala 5-poin kontinum sangat setuju sampai sangat tidak setuju dan memenuhi indeks daya diskriminasi aitem dengan Corrected-Item-Total-Correlation 0,261 s/d 0,633, reliabilitas Alpha = 0,737 (N = 93). Contoh aitem, “Banyak teman membuat saya dapat mengenal berbagai karakter orang.”

 

Hasil

  1. Koefisien determinasi R2 = 0,132, menunjukkan 13,2% proporsi variasi kenakalan remaja dapat dijelaskan melalui kematangan emosi dan konsep diri. Sisanya (100% – 13,2%) = 86,8% dijelaskan faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian. F = 8,908 dan p = 0,000 (p < 0,05) menunjukkan dengan signifikan variabel kematangan emosi dan konsep diri secara simultan memprediksi kenakalan remaja dalam hubungan searah dan linier. Hipotesis yang menyatakan kematangan emosi dan konsep diri berhubungan dengan kenakalan remaja, diterima.
  2. Koefisien  korelasi parsial kematangan emosi = -0,313 dan p = 0,001 menunjukkan hubungan kematangan emosi (setelah skor konsep diri dikontrol secara statistik) dengan kenakalan remaja adalah berlawanan arah dan linier. Prediksi tersebut signifikan (p < 0,05). Kematangan emosi merupakan kapasitas psikologis yang berpotensi untuk memungkinkan terjadinya penurunan kenakalan remaja. Skor kenakalan remaja 134,225 – (-0,313) = 133,912 adalah skor penurunan yang signifikan (bermakna). Hipotesis yang menyatakan hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja secara parsial adalah berlawanan arah, diterima.
  3. Koefisien  korelasi parsial konsep diri = -0,080 dan p = 0,530 menunjukkan hubungan konsep diri (setelah skor kematangan emosi dikontrol secara statistik) dengan kenakalan remaja adalah berlawanan arah dan linier. Prediksi tersebut tidak signifikan (p > 0,05). Konsep diri merupakan kapasitas psikologis yang tidak berpotensi untuk memungkinkan terjadinya penurunan atau peningkatan kenakalan remaja. Skor kenakalan remaja 134,225 – (-0,080) = 134,145 adalah skor penurunan yang tidak signifikan (tidak bermakna). Hipotesis yang menyatakan hubungan konsep diri dengan kenakalan remaja secara parsial adalah berlawanan arah, ditolak.

 

Pembahasan

Proporsi variasi tinggi rendahnya kenakalan remaja dapat dijelaskan melalui kematangan emosi dan konsep diri. Variabel kematangan emosi dan konsep diri merupakan variabel psikologis yang bersifat positif dan menghasilkan kemungkinan keluaran variabel negatif, yaitu kenakalan remaja. Hubungan tersebut termasuk unik. Komposisi kematangan emosi dan konsep diri kemungkinan besar membangkitkan kenakalan remaja. Hasil uji asumsi menunjukkan kematangan emosi dan konsep diri berhubungan ko-linier. Sifat hubungan kedua variabel tidak terpisahkan, kematangan emosi ada di dalam konsep diri, dan konsep diri ada di dalam kematangan emosi. Remaja yang matang emosinya adalah remaja yang konsep dirinya berkembang baik. Remaja konsep dirinya berkembangan dengan baik adalah remaja yang matang secara emosional.

Kematangan emosi yang terdiri dari aspek pengendalian diri, kemandirian, perasaan konsekuen, dan penerimaan diri (Albin, 1996) adalah ko-linier dengan aspek-aspek konsep diri dari Hurlock (1996), yaitu konsep diri fisik, psikis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi. Informasi perbandingan rerata teoritik dan empirik menunjukkan kematangan emosi, konsep diri, dan kenakalan remaja yang menjadi subjek penelitian tergolong tinggi. Informasi hasil uji asumsi normalitas sebaran menunjukan data kenakalan remaja tidak sesuai dengan ciri-ciri kurve normal. Remaja yang terpilih sebagai subjek penelitian kebetulan sebagian besar kenakalanannya tergolong tinggi.

Perkembangan emosi yang sangat matang dan konsep diri yang berkembangan sangat baik berhubungan dengan kenakalan remaja, hanya berlaku pada sampel remaja dengan tingkat kenakalan tinggi. Prediksi peningkatan komposisi kematangan emosi dan konsep diri akan diikuti peningkatan kenakalan remaja, hanya berlaku pada remaja dengan tingkat kenakalan yang tinggi.

Kematangan emosi dan konsep diri kemungkinan karena kedua variabel merupakan variabel internal dan bersifat positif. Aspek kematangan emosi yang secara teoritis ada di dalam konsep diri adalah aspek pengendalian diri, yaitu pada aspek konsep diri emosional. Gambaran remaja tentang emosi diri, seperti kemampuan menahan emosi, pemarah, sedih, atau riang-gembira, pendendam, dan pemaaf secara teoritis merupakan aspek pengendalian diri di dalam kematangan emosi.

Kematangan emosi ko-linier dengan konsep diri dan berhubungan dengan kenakalan remaja sulit ditemukan penjelasan teoritis maupun praktis. Dinamika psikologis dapat diidentifikasi pada hubungan parsial. Hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja adalah berlawanan arah, linier, dan signifikan. Semakin matang emosi, samakin kecil kemungkinan remaja berperilaku nakal. Hipotesis frustrasi-agresi menjelaskan keadaan frustrasi akan menimbulkan agresi. Frustrasi adalah situasi individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Pengalaman perilaku tindak agresi dan taraf halangan yang berlebihan yang tidak diharapkan akan menimbulkan perilaku agresi (Wringhtan & Deaux dalam Sears dkk., 2004). Kenakalan remaja yang terdiri dari aspek-aspek perilaku melanggar status, perilaku membahayakan diri sendiri, perilaku menimbulkan korban materi dan korban fisik pada orang lain merupakan manifestasi frustrasi berbentuk agresi. Remaja yang emosinya matang akan mampu mengatasi frustrasi yang mendorong agresi, dan mampu mengendalikan impuls-impuls emosi yang mendorong perilaku nakal.

Remaja dengan emosi matang mampu mempertahankan dorongan emosi, memahami emosi diri untuk diarahkan kepada tindakan-tindakan positif, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, sadar dan bertanggung jawab menjalankan keputusan, menerima kelemahan maupun kelebihan dan menerima diri secara fisik maupun psikis dengan baik. Remaja yang matang emosinya kemungkinan besar tidak suka melawan orangtua, tidak membolos sekolah, dan tidak suka pergi dari rumah tanpa pamit, mengendarai motor tidak dengan kecepatan tinggi, menghindari narkotika, tidak menggunakan senjata, tidak keluyuran malam, dan menghindari pelacuran. Remaja dengan emosi matang perilakunya tidak merugikan orang lain, tidak mencuri, mencopet, ataupun merampas. Remaja yang matang emosinya menghindari perilaku yang dapat menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti berkelahi, menempeleng, menampar, melempar benda keras, mendorong sampai jatuh, menyepak, atau memukul dengan benda.

Konsep diri tidak berhubungan dengan kenakalan remaja setelah kematangan emosi dikendalikan. Hubungan simultan antara kematangan emosi dan konsep diri yang searah dan signifikan dengan kenakalan remaja kemungkinan karena adanya konsep diri.

Konsep diri merupakan variabel internal yang positif. Konsep diri secara parsial tidak berhubungan dengan kenakalan remaja. Temuan penelitian dapat dijelaskan melalui dinamika internal dalam keseluruhan aspek konsep diri, kecuali konsep diri emosional. Konsep diri yang tidak realitistis akan menjadi sumber masalah. Konsep diri fisik yang tidak realitis membuat remaja menggambaran dirinya sangat tinggi dalam penampilannya, dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungannya dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain.

Konsep diri psikis yang tidak realistis membuat remaja menggambarkan diri sangat tinggi terhadap kemampuan dan tidak bersedia kemampuannya dinilai rendah, dan harga dirinya membubung tinggi dan menganggu hubungannya dengan orang lain.

Konsep diri sosial yang tidak realitis membuat remaja mengambarkan diri terlalu baik dalam hubungannya dengan orang lain, dengan teman sebaya, dan dengan keluarga.

Konsep diri aspirasi yang tidak realitis membuat remaja menggambarkan diri memiliki pendapat dan gagasan yang paling benar dibanding orang lain, lebih kreatif, dan bercita-cita yang sulit diraih.

Konsep diri prestasi yang tidak realitis membuat remaja menggambaran diri terlalu dini sebagai individu yang maju dan akan berhasil. Gambaran diri yang tidak realitis akan menganggu keseimbangan dan merusak kematangan emosi dan akan mempertinggi kemungkinan terjadinya kenakalan remaja.

Analisis kemungkinan hubungan positif konsep diri yang tidak realistis dengan kenakalan remaja sesuai dengan respon konsep diri dalam kontinum respon adaptif sampai respon maladaptif dari Stuart dan Sundeen (1998) sebagai berikut.

 

Respon adaptif                                                                       Respon maladaptif

 

Aktualisasi diri

Konsep diri positif

Harga diri rendah

Kerancuan identitas

Depersonalisasi

 

 

Gejala yang muncul akibat gangguan konsep diri adalah mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif pada orang lain, gangguan hubungan dengan orang lain, perasaan diri penting yang berlebihan, perasaan tidak mampu, perasaan bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuh sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup pesimis, keluhan fisik, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal, destruktif terhadap diri sendiri, pengurangan diri atau penarikan diri secara sosial, penyalahgunaan zat perangsang (adiktif), dan menarik diri dari realitas.

Rasa diri penting yang berlebihan dan menarik diri dari realitas merupakan tipikal konsep diri yang tidak realistis. Pemahaman tentang potensi diri akan menimbulkan rasa mampu. Individu akan selalu berupaya meningkatkan standar atau patokan keberhasilan pada kesempatan yang akan datang dan terdorong untuk berprestasi dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang. Rasa mampu yang dihasilkan oleh konsep diri bisa saja salah. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan atau ketidaksesuaian dalam mempersepsi segala kelebihan dan kelemahan dari keadaan yang sesungguhnya dimiliki. Individu menilai potensi diri yang dimiliki terlalu tinggi atau terlalu rendah dari keadaan yang sesungguhnya. Akibatnya konsep diri yang terbentuk dapat negatif atau terlalu positif. Konsekuensi selanjutnya adalah muncul rasa mampu yang tidak realistis, sehingga standar atau patokan keberhasilan (prestasi) menjadi tidak realistis pula (White dalam Purwanti, 1996).

Fitts (dalam Purwanti, 1996) menyatakan jika individu ingin mendapatkan persepsi yang tepat tentang dirinya, ada empat aspek konsep diri yang harus terintegrasi dalam dirinya, yaitu: 1). Aspek konsep diri kritik, jika ingin memiliki rasa mampu yang realistis, individu harus terbuka terhadap kelemahan diri, harus bersedia menerima umpan balik dari orang lain sebagai suatu kritik yang membangun, bukan sebagai kritik yang bertujuan untuk menjatuhkan; 2) Aspek harga diri adalah komponen penting dan domain dalam konsep diri individu. Harga diri berperan sebagai penilai bagian-bagian diri yang menghasilkan rasa suka, tidak suka, puas, tidak puas, dan lain-lain. Keterbukaan diri dan keyakinan diri dibutuhkan untuk menghasilkan penilaian yang tepat dan membuat pemahaman diri berkembang. Perkembangan pemahaman diri akan menumbuhkan perasaan berhasil dan perasaan mampu yang berperan sebagai kendali internal untuk mengarahkan perilaku; 3) Aspek integrasi diri, menunjuk pada kemampuan individu dalam membuat kesesuaian antara penilaian dan kenyataan yang ada. Individu akan memiliki integrasi diri yang baik jika dapat memenuhi kesesuaian penilaian dan kenyataan, karena mencoba realistis dalam membuat penilaian diri; 4) Aspek keyakinan diri, menggambarkan sejauhmana keyakinan individu dalam menilai diri sendiri. Individu yang tidak yakin akan dirinya, siapa, dan bagaimana keadaannya, akan mempunyai gambaran diri yang tidak tepat. Penilaian yang tepat dan sesuai dengan kenyataan membutuhkan keyakinan diri yang kuat. Keyakinan yang kuat bahwa penilaian sudah dilengkapi dengan keterbukaan akan kelemahan diri, agar gambaran diri (konsep diri) yang terbentuk menjadi tepat (realisitis).

Penelitian menyimpulkan kematangan emosi dan konsep diri adalah suatu komposisi. Kematangan emosi ada di dalam konsep diri dan konsep diri ada di dalam kematangan emosi. Aspek pengendalian diri di dalam konstruk kematangan emosi identik dengan aspek konsep diri emosional di dalam konstruk konsep diri.

Komposisi kematangan emosi tinggi dan konsep diri tinggi merupakan variabel psikologi positif yang memprediksi keluaran perilaku negatif, yaitu kenakalan remaja yang tinggi. Hubungan simultan yang searah dan signifikan antara kematangan emosi dan konsep diri dengan kenakalan remaja kemungkinan karena keterlibatan konsep diri yang tinggi.

Konsep diri secara parsial tidak berhubungan dengan kenakalan remaja. Konsep diri remaja yang membubung tinggi kemungkinan akan berkonflik dengan kematangan emosi. Konsep diri yang tinggi dan tidak terkontrol akan menjadi tidak rasional. Kematangan emosi yang tidak mampu berperan mengendalikan konsep diri yang berkembang secara tidak rasional akan membelokkan arah hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja.

Kematangan emosi secara parsial berhubungan linier, berlawanan arah, dan signifikan. Kematangan emosi akan menjauhkan remaja dari kemungkinan berperilaku nakal. Semakin matang emosi, semakin kecil kemungkinan remaja berperilaku nakal. Semakin tidak matang emosi, semakin besar potensi remaja berperilaku nakal.

 

Daftar pustaka

Albin, R. S. (1996). Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya. Yogyakarta: Kanisius.

Haryono. (1996). Kematangan Emosi, Pemikiran Moral, dan Kenakalan Remaja. Semarang: FIP-IKIP Semarang.

Hay, I. (2000). Gender Self-concept Profiles of Adolescents Suspended from High School. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 41, 3, 345–352.

Hurlock, E. B. (1996). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Jakarta: Erlangga

Kusumaredi, L.A. (2011). Fenomena kenakalan remaja di Indonesia. http://ntb.bkkbn.go.id/rubrik/691/. Unduh 18 Agustus 2011, Pukul 19.30.

Maria, U. (2007). Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Partosuwido, S.R. (1992). Penyesuaian Diri Mahasiswa Dalam Kaitanya dengan Konsep Diri, Pusat Kendali dan Status Perguruan Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Purwanti, M. (1996). Menumbuhkan dan meningkatkan motif berprestasi remaja, upaya pembinaan dan pengembangan generasi muda. Jurnal Atma nan Jaya, April, 71-84.

Sarwono, S.W. (2001). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Sears, D., Freedman, J., Peplau, L. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Shavelson, B.J., & Roger, B. (1982). Self-Concept: The Interplay of Theory Methods. Journal of Educational Psychology, 72, 1, 3-17.

Shiffer, N., Layhch-Sanner, J., & Nadelmen, L. (1997). Relationship Between Self-Concept and Classroom Behavior in Two Informal Elemantary Classroom. Journal of Educational Psychology, 72, 1, 349-359.

Tambunan, R. (2001). Perkelahian Pelajar. www.e-psikologi.com. Unduh tanggal 17 Agustus 2011, Pukul 20.20.

Yanti, D. (2005). Ketrampilan Sosial pada Anak Menengah Akhir yang Mengalami Gangguan Perilaku. e-USU Repository. Medan: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Stuart, G.W, and Sundeen, S.J. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.


Juni 14, 2012 Posted by | Uncategorized | 1 Komentar

POLA ASUH ORANGTUA DEMOKRATIS, KREATIVITAS DAN ADVERSITY QUOTIENT REMAJA AWAL

Terbit pada Jurnal Psikologi Persona Volume 01 Nomor 01 Juni 2012

 

Oleh:

Veny Iswantiningtyas

Rr. Amanda Pasca Rini

Dian Evita Santi

 

 

 

Abstract, Relationship of democratic parenting, creativity and Adversity Quotient examined on 101 boys and 131 girls, 13 to 16 years of ages, and living with biologic parents. Data obtained from the scales of C.O.R.E, CO2RE and “P” and analyzed with regression. Democratic parenting are highly significant predict creativity; Democratic parenting are highly significant predict Adversity Quotient total scores; No relationship between democratic parenting with sub scales of Control and Endurance; Positive relationship and significant between democratic parenting with sub scales of Origin, Ownership and Reach. The findings are discussed in terms of their implications for middle adolescent in context.

 

Keywords: democratic parenting, creativity, adversity quotient

 

Intisari, Intisari, Penelitian mengkaji hubungan pola asuh orangtua demokratis, kreativitas dan Adversity Quotient. Subjek penelitian 232 remaja awal (101 siswa laki-laki dan 131 siswa perempuan), usia 13 sampai dengan 16 tahun, dan tinggal bersama orangtua kandung. Data kreativitas diperoleh dari skala C.O.R.E. Data Adversity Quotient diperoleh dari skala CO2RE. Data pola asuh orangtua demokratis diperoleh dari skala P. Hasil analisis regresi pola asuh orangtua demokratis dan kreativitas R = 0,247, F = 14,992, p = 0,000 (p < 0,01). Variabel pola asuh orangtua demokratis secara sangat signifikan memprediksi kreativitas. Hasil analisis regresi pola asuh orangtua demokratis dan Adversity Quotient R = 0,268, F = 17,867, p = 0,000 (p < 0,01). Variabel pola asuh orangtua demokratis secara sangat signifikan memprediksi Adversity Quotient. Hasil analisis korelasi pola asuh orangtua demokratis dengan Control R = 0,010, F = 0,024, p = 0, 878 (p > 0,05) menunjukkan tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Control. Hasil analisis korelasi pola asuh orangtua demokratis dengan Origin R = 0,249, F = 15,236, p = 0,000 (p < 0,01) menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Origin. Hasil analisis korelasi pola asuh orangtua demokratis dengan Ownership R = 0,269, F = 17,923, p = 0,000 (p < 0,01) menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Ownership. Hasil analisis korelasi pola asuh orangtua demokratis dengan Reach R = 0,174, F = 7,165, p = 0,008 (p < 0,01) menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Reach. Hasil analisis korelasi pola asuh orangtua demokratis dengan Endurance R = 0,107, F = 2,678, p = 0,103 (p > 0,05) menunjukkan tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Endurance.

 

Kata kunci: pola asuh orangtua demokratis, kreativitas, Adversity Quotient

 

 

Kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara tergantung pada sumbangan kreatif berupa gagasan-gagasan, penemuan, dan teknologi baru dari masyarakatnya. Kemajuan ekonomi industri luar biasa bangsa Jepang disebabkan masyarakatnya sangat kreatif (Heller dalam Suharnan, 2000). Kreativitas menuntut kemam-puan mengatasi kesulitan yang ditimbulkan hal-hal yang tidak pasti. Ketidakberdayaan yang dipelajari dapat menghancurkan kreativitas orang-orang yang cemerlang dan berbakat. Orang-orang yang tidak mampu mengahadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif (Barker dalam Stoltz, 2005). Pola asuh orangtua demokratis akan memfasilitasi perkembangan Adversity Quotient dan kreativitas. Kreativitas dan Adversity Quotient perlu distimulasi agar tumbuh dan berkembang semenjak remaja awal.

 Kreativitas adalah dasar inovasi, bukan hanya masalah menghasilkan gagasan-gagasan baru. Kreativitas mengacu pada kemampuan menghasilkan penyelesaian orisinil (asli), berkualitas tinggi, dan elegan terhadap masalah rumit dan sulit didefinisikan (Mumford dkk., 2009).

Adversity Quotient dapat digunakan untuk meramalkan berbagai macam kemampuan seseorang dalam hal kinerja, motivasi, perilaku, kesehatan emosional dan jasmani, daya tahan, produktivitas, dan kreativitas (Stoltz, 2005). Adversity Quotient menganalisis kegigihan individu dalam menghadapi setiap tantangan sehari-hari. Kebanyakan individu tidak hanya belajar dari tantangan, tetapi meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik (Mangkuprawira, 2009).

Lingkungan keluarga dan lingkungan sosial yang demokratis akan mendorong otonomi dan belajar atas dorongan diri sendiri. Lingkungan yang memberikan tantangan optimal, kompetensi, atau pelibatan tugas akan memberikan kontribusi positif pada perilaku kreatif (Amabile dalam Niu & Sternberg, 2003).

Pola asuh orangtua demokratis akan memfasilitasi perkembangan Adversity Quotient dan kreativitas. Pengasuhan demokatis adalah pengasuhan dimana orangtua dan anak bekerja sama. Anak-anak biasanya akan tumbuh untuk menghormati orangtua dan dapat menangani konflik dan masalah dengan cara yang wajar (Then, http://ezinearticles. com/?Three-Basic-Parenting-Styles&id=744499).

 

Kreativitas

Kreativitas adalah proses berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru atau kombinasi dari karya-karya yang telah ada sebelumnya menjadi suatu karya baru. Proses berpikir kreatif dilakukan individu dalam interaksi dengan lingkungan. Proses berpikir kreatif diidentifikasi melalui Curiousity, yaitu kemampuan mempertanyakan, eksperimentasi, eksplorasi, ekspedisi; Opennes to experiences, yaitu mencari informasi dan pengalaman, berfantasi, pengala-man positif dan negatif, menghargai karya seni-budaya, dan menerima pendapat orang lain; Risk tolerance, yaitu kesediaan mengambil resiko material, resiko fisik, resiko psikis, resiko sosial; Energy, yaitu penggunaan energi fisik dan mental dalam proses kreatif (Suharnan, 2002).

 

Adversity Quotient

Adversity Quotient adalah kegigihan dan kecerdasan mengahadapi kesulitan atau hambatan, kemampuan bertahan dalam menghadapi kesulitan hidup dan tantangan. Adversity Quotient diidentifikasi melalui Control, yaitu kemampuan remaja untuk mengendalikan suatu masalah yang muncul dan dapat diselesaikan. Misalnya mampu mengendalikan diri walau berbeda pendapat dengan orang lain, tidak mudah cemas dan dapat mengambilan keputusan dengan tepat dalam situasi sulit; Origin, yaitu kemampuan remaja untuk menganalisis asal usul permasalahan. Misalnya, mampu mencari penyebab masalah dalam kehidupan sehari-hari dan instrospeksi diri; Ownership, yaitu sejauhmana kemampuan remaja untuk mengakui akibat-akibat dari kesalahan yang dilakukan. Misalnya, bertanggung jawab, mampu menerima berbagai macam kritikan bila berbuat salah kepada orang lain; Reach, yaitu kemampuan remaja untuk mengatasi pengaruh permasalahan terhadap aspek lain dalam kehidupan. Misalnya, berpikir optimis, percaya diri, semangat untuk mengahasilkan karya terbaik dalam kehidupan sehari-hari; Endurance, yaitu ketahanan remaja secara fisik dan mental dalam menghadapi berbagai macam permasalahan. Misalnya, selalu berusaha mengahadapi kesulitan dalam kehudupan sehari-hari, tidak mudah frustasi, dapat berpikir jernih (Stoltz, 2005).

 

Pola asuh demokratis

Pola asuh orangtua demokratis adalah pola komunikasi timbal balik, hangat dan memberikan kebebasan pribadi untuk beraktualisasi diri. Orang tua memberikan arahan, penjelasan, alasan dan batasan-batasan dalam mengendalikan tindakan-tindakan yang dilakukan remaja. Pola asuh orangtua demokratis diidentifikasi melalui adanya perhatian dan kehanggatan, yaitu orangtua dalam mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan remaja disadari adanya perhatian, penghargaan dan kasih sayang; Kebebasan berinisiatip, yaitu kesediaan orangtua untuk memberikan kesempatan kepada remaja untuk menyampaikan dan mengembangkan pendapat ide, pemikiran dengan tetap mempertimbangkan hak-hak orang lain, nilai dan norma yang berlaku; Kontrol terarah, yaitu pola pengawasan dan pengendalian orangtua dengan cara memberikan bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap sikap dan perilaku remaja; Pemberian tanggung jawab, yaitu kesediaan orangtua memberikan peran dan tanggung jawab kepada remaja atas segala sesuatu yang dilakukan (Farid, 2011).

 

Pola asuh orangtua demokratis, adversity quotient dan kreativitas

Kreativitas memampukan individu mewujudkan diri sebagai bagian dari kebutuhan pokok tingkatan tertinggi dalam kehidupan. Kreativitas merupakan perwujudan individu yang berfungsi sepenuhnya (Maslow dalam Munandar, 1999). Adversity Quotient merupakan kerangka kerja konseptual, suatu ukuran serta merupakan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, juga dapat meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan dan bagaimana untuk mengatasinya (Stoltz, 2005). Pola asuh orangtua demokratis merupakan pola asuh orangtua yang menunjukkan sikap tegas terhadap nilai penting menegakkan peraturan, norma dan nilai. Orangtua demokratis bersedia mendengar, menjelaskan dan bernegosiasi dengan anak (Farid, 2011). 

Pola asuh orangtua demokratis dapat mempengaruhi kreativitas serta Adversity Quotient remaja. Hal ini karena dasar pembentukan cara berpikir serta pembentukan kepribadian anak dimulai dari lingkungan keluarga terutama orangtua. Pola asuh yang diterapkan orangtua akan berpengaruh terhadap kreativitas serta Adversity Quotient remaja. 

 

Hipotesis

  1. Ada hubungan positif pola asuh orangtua demokratis dengan kreativitas pada  remaja awal.
  2. Ada hubungan positif  pola asuh orangtua demokratis dengan Adversity Quotient  pada  remaja awal

 

Subject

Subjek penelitian adalah 232 remaja awal (101 laki-laki dan 131 perempuan), usia 13-16 tahun yang tinggal bersama orangtua kandung.

 

Alat ukur

80 aitem skala C.O.R.E yang dikembangkan Suharnan (2002) digunakan sebagai alat ukur kreativitas. C.O.R.E merupakan penjabaran Curiosity, Openness to experience, Risk tolerance dan Energy. Skala C.O.R.E memiliki koeffisien reliabilitas alpha yang distandarisasikan sebesar 0,93, skor rerata yang diperoleh subjek adalah 271,7 dengan simpangan baku 33,38.

Skala CO2RE dikembangkan peneliti untuk mengukur Adversity Quotient, merupakan penjabaran Control, Origin, Ownership, Reach dan Endurance dari Stoltz (2005). Koeffisien korelasi 31 aitem dengan skor total skala yang dikoreksi adalah 0,294 s/d 0,702, koeffisien reliabilitas alpha sebesar 0,738.

Skala “P” yang dikembangkan Farid (2011) digunakan untuk mengukur pola asuh orangtua demokratis. 33 aitem skala “P” merupakan penjabaran adanya perhatian dan kehangatan; kebebasan berinisiatip; kontrol terarah dan pemberian tanggung jawab. Koeffisien korelasi 33 aitem dengan skor total skala yang dikoreksi adalah 0,306 s/d 0,877, koeffisien reliabilitas alpha 0,739.

 

Hasil

Hasil analisis korelasi menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh orangtua demokratis dengan kreativitas remaja awal (R = 0,247, F = 14,992, p = 0,000). Kontribusi pola asuh orang tua demokratis terhadap kreativitas remaja sebesar 6,1%, sisanya sebesar 93,9% dipengaruhi faktor lain. Hipotesis diterima, semakin tinggi persepsi remaja terhadap pola asuh orangtua demokratis, semakin  tinggi kreativitas. Semakin rendah persepsi remaja terhadap pola asuh orangtua demokratis semakin rendah kreativitas.

Hasil analisis korelasi menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Adversity Quotient (R = 0,268, F = 17,867, p = 0,000). Kontribusi pola asuh orang tua demokratis terhadap Adversity Quotient remaja sebesar 7,2%, sisanya sebesar 92,8% dipengaruhi faktor lain. Hipotesis diterima, semakin tinggi persepsi remaja terhadap pola asuh orangtua demokratis, semakin  tinggi Adversity Quotient. Semakin rendah persepsi remaja terhadap pola asuh orangtua demokratis semakin rendah Adversity Quotient.

Aspek-aspek Adversity Quotient diregresi melalui pola asuh orangtua demokratis untuk mengetahui keeratan hubungan. Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan pola asuh orangtua demokratis dengan Control (R = 0,010, F = 0,024, p = 0, 878); Ada hubungan positif yang sangat signifikan pola asuh orangtua demokratis dengan Origin (R = 0,249, F = 15,236, p = 0,000). Kontribusi pola asuh orangtua demokratis terhadap Origin remaja awal 6,2 %, sisanya 93,8% dipengaruhi faktor lain; Ada hubungan positif yang sangat signifikan pola asuh orangtua demokratis dengan Ownership (R = 0,269, F = 17,923, p = 0,000). Kontribusi pola asuh orang tua demokratis terhadap Ownership remaja awal adalah 7,2%; Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Reach (R = 0,174, F = 7,165, p = 0,008). Kontribusi pola asuh orang tua demokratis terhadap Reach remaja adalah 3%; Tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua demokratis dengan Endurance (R = 0,107, F = 2,678, p = 0,103).

 

Pembahasan

Pola asuh orangtua demokratis menjadi prediktor kreativitas remaja. Temuan penelitian mendukung teori Suharnan (2011) dan Roger (dalam Munandar, 1999), lingkungan demokratis berperan besar mewujudkan proses kreatif. Udwin dan Shmuker (dalam Suharnan, 2011), pola interaksi yang tidak otoriter, sedikit campur tangan orangtua, tidak menuntut anak, dan memberikan keleluasaan anak bermain sesuai dengan keinginannya dapat menumbuhkan perilaku yang mengarah pada kreativitas.

Remaja yang merasa diperhatikan akan berusaha untuk tidak kehilangan perhatian, melakukan hal-hal positif yang dapat menarik perhatian orangtua, berpikir dan menggali potensi diri untuk menarik perhatian orangtua.

Remaja yang memperoleh kebebasan berinisiatif akan aktif mengembangkan potensi diri, berusaha mewujudkan keinginan-keinginan secara kreatif untuk lebih memperoleh pengakuan, menunjukkan tidak salah orangtua memberi kebebasan berinistaif. Unjuk diri adalah sebuah jawaban atas kepercayaan orangtua terhadap kemampuan remaja. Kesempatan-kesempatan menggagas sesuatu akan selalu ada karena remaja didorong untuk berpendapat dan memikirkan sesuatu dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain dan norma yang ada. Remaja akan aktif berpikir dalam proses kreatif. Bila dihargai pemikirannya, remaja akan aktif berpikir sebagai bagian dari proses kreatif.

Remaja yang diperlakukan dengan kontrol terarah akan berbesar hati dan berusaha untuk introspeksi diri apabila membuat kesalahan. Proses berpikir kreatif akan terjadi pada saat remaja memperbaiki diri dari kesalahan dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Remaja akan senang apabila diingatkan, menerima masukan apabila mengalami kesulitan, merespon dengan pemikiran kreatif apabila mendapat kritik yang tidak sesuai denga keyakinan dirinya, berusaha menunjukkan diri benar dengan berbagai argumentasi dan bukti. Demokrasi akan terus terbangun antara orangtua dan remaja. Inisiatif akan mewarnai pikiran remaja dalam pola pengasuhan kontrol terarah.

 Remaja yang mendapatkan kepercayaan mengambil peran akan mengemban kepercayaan dengan cara menunjukkan perasaan bertanggung jawab dengan cara memerankan diri sebaik mungkin, menjalankan tugas sampai tuntas dan terus memikirkan cara-cara terbaik dalam menyelesaikan pekerjaan.

Pola asuh orangtua demokratis menjadi prediktor Adversity Quotient. Remaja yang orangtuanya menerapkan pola asuh demokratis akan berkembang menjadi Cilimber, memikirkan kemungkinan-kemingkinan, tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental atau hambatan lainnya menghambat pendakiannya. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan ataupun kerugian, nasib baik atau nasib buruk, individu yang tergolong Climber akan terus mendaki. Climber optimis, melihat peluang-peluang, melihat celah, melihat senoktah harapan di balik keputus-asaan, bergairah maju, noktah kecil yang oleh orang lain dianggap sepele bagi Climber dijadikan sebagai cahaya.

Remaja yang orangtuanya tidak demokratis dalam pola asuh akan berkembang menjadi Quitter, memilih keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti, meninggalkan dorongan untuk mendaki, dan kehilangan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitter berhenti di tengah proses pendakian, gampang putus asa dan menyerah sehingga tidak mampu mengoptimalkan potensi diri untuk mencapai tujuan (Stoltz, 2005).

Remaja yang orangtuanya tidak demokratis dalam pola asuh kemungkinan akan berkembang menjadi Camper. Remaja diliputi perasaan bosan dan mengakhiri pendakian sebelum sampai di puncak, mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Camper puas dengan apa yang telah diraih, dan telah merasa sebagai orang yang berhasil, tidak lagi mengembangkan diri, tetapi hanya mempertahankan agar apa yang telah diraih dapat tetap dimiliki. Pendakian yang tidak selesai sudah dianggap sebagai kesuksesan akhir, padahal sebenarnya tidak, sebab masih banyak potensi yang belum teraktualisasi dan menjadi sia-sia.

Remaja dalam pengasuhan orangtua demokratis akan mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan diri dalam situasi perbedaan pendapat, tidak mudah cemas, dan mampu mengambil keputusan dengan tepat dalam situasi yang sulit; mencari penyebab masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan instrospeksi diri; mengakui akibat-akibat dari kesalahan yang dilakukannya, lebih bertanggung jawab dan mampu menerima berbagai macam kritikan bila berbuat salah kepada orang lain; berpikir sebelum bertindak, optimis, percaya diri, semangat untuk mengahasilkan karya terbaik dalam kehidupan sehari-hari; berusaha mengahadapi kesulitan dalam kehudupan sehari-hari, tidak mudah frustasi, dan dapat berpikir jernih; menjadi pribadi yang gigih, ulet, rajin, dan tabah dalam menghadapi situasi sulit, serta memiliki daya juang besar untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dengan cara-cara yang tepat. Adversity Quotient akan mengiringi proses-proses kreatif remaja yang dirangsang oleh pola pengasuhan demokratis orangtua.

Adversity Quotient akan mempertinggi kinerja kreatif remaja. Kemampuan mengendalikan suatu masalah, kemampuan menganalisis asal usul permasalahan, kemampuan mengakui akibat-akibat kesalahan,  kemampuan mengatasi pengaruh permasalahan terhadap aspek lain dalam kehidupan, dan ketahanan fisik dan mental dalam menghadapi berbagai macam permasalahan akan membantu remaja dalam proses bertanya, bereksperimen, menjelajah dan berekspedisi, mencari informasi dan pengalaman, menerima pendapat orang lain, menanggung resiko yang tidak diharapkan karena telah antisipasi, serta dalam mencurahkan energi fisik dan mental.

 

Daftar pustaka

Farid, M. (2011). Hubungan penalaran moral, kecerdasan emosi, religiusitas, dan pola asuh orang tua otoritatif dengan perilaku prososial remaja. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Mangkuprawira, S.Tb. (2009) Adversity Quotient dan pemberdayaan karyawan. http://ronawajah.wordpress.com/2009/07/10/adversity-quotient-dan-pemberdayaan-karyawan/. Unduh 29 Desember 2011.

Mumford, M D., Hunter, S.T., & Byrne, C.L. (2009). What Is the Fundamental? The Role of Cognition in Creativity and Innovation. Industrial and Organizational Psychology, 2, 3, 353–356.

Munandar, U. (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Niu, W., & Sternberg, R.J. (2003). Societal and school influences on student creativity: The case of China. Psychology in the Schools, 40, 1, 103–114.

Stoltz, P. (2005). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: Grasindo

Suharnan. (2000). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi

Suharnan. (2002). Skala C.O.R.E sebagai alternatif mengukur kreativitas: suatu pendekatan kepribadian. Anima Indonesian Psychological Journal, 18, 1, 36-56.

Then, J. Three Basic Parenting Styles. http://EzineArticles.com/?expert= Joseph_Then. Unduh 31 Agustus 2011.

 

Juni 14, 2012 Posted by | Uncategorized | 1 Komentar